Komnas HAM mendesak Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin mengusut tuntas dugaan pembunuhan berencana disertai kekerasan seksual terhadap jurnalis muda, Juwita, yang tewas tragis pada 22 Maret 2025. Tersangka utama, prajurit TNI AL Kelasi I Jumran, disebut telah merencanakan pembunuhan secara sistematis.
Banuaterkini.com, BANJARMASIN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) secara resmi menyampaikan pendapat hukum atau amicus curiae kepada Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin, yang sedang menyidangkan kasus kematian jurnalis Newsway.co.id, Juwita (23).
Korban Juwita ditemukan tak bernyawa di tepi Jalan Gunung Kupang, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada Sabtu (22/03/2025) lalu.
Saat konferensi pers, Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, Jumat (24/05/2025), menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa hanya dipandang sebagai pembunuhan biasa.
“Terdakwa merencanakan pembunuhan secara matang, mulai dari pengaturan mobilisasi hingga penyusunan alibi,” ujarnya, seperti dilansir dari Tempo.co.
Indikasi Kuat Perencanaan dan Kekerasan Seksual
Temuan Komnas HAM menunjukkan adanya indikasi kuat pelanggaran berat hak asasi manusia dalam kasus kematian tragis Juwita.
Komisi menduga bahwa korban mengalami kekerasan seksual oleh tersangka, Kelasi I Jumran, dalam rentang waktu Desember 2024 hingga Januari 2025.
Dugaan ini diperkuat oleh hasil visum yang mengungkapkan adanya ejakulat serta robekan pada selaput dara korban, yang mengindikasikan tindakan pemerkosaan.
Komnas HAM juga menyebutkan bahwa kekerasan seksual itu kemungkinan besar terjadi di dalam kendaraan yang digunakan pelaku, sesaat sebelum korban dibunuh.
Selain itu, tersangka diduga sengaja menghilangkan barang-barang pribadi milik korban, seperti dompet, ponsel, dan identitas, guna menghambat proses identifikasi dan penyidikan.
Yang lebih mengkhawatirkan, tersangka disebut menyusun alibi secara sistematis untuk menyesatkan penyelidikan.
Termasuk di antaranya adalah pengiriman karangan bunga belasungkawa atas nama institusi TNI AL, yang diduga dilakukan untuk menciptakan kesan seolah dirinya tidak terlibat dalam kematian korban.
Jejak Digital dan Kemungkinan Pelaku Lain
Komnas HAM juga menyoroti adanya jeda waktu 16 menit yang mencurigakan setelah eksekusi dilakukan, berdasarkan data GPS dan CCTV.
Uli mengungkapkan bahwa fakta tersebut membuka dugaan adanya keterlibatan pihak lain.
“Ada jejak terdakwa yang menumpang tiga kali pada kendaraan berbeda dan menghilang dari sisi kiri mobil sebelum kendaraan itu melaju. Ini tidak bisa diabaikan,” kata Uli, dikutip dari Tempo.co.
Dugaan Pelanggaran Berat HAM
Komnas HAM menyimpulkan bahwa tindakan Jumran merupakan pelanggaran berat terhadap HAM.
Selain merampas hak hidup korban, kekerasan seksual yang dilakukan juga mencederai hak-hak perempuan yang dijamin hukum nasional dan internasional.
Komnas HAM menilai relasi kuasa antara pelaku dan korban membuat korban berada dalam posisi rentan.
Sebagai amicus curiae, Komnas HAM menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 89 ayat (3) huruf h UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, untuk memberi opini resmi atas perkara yang menyangkut kepentingan publik dan dugaan pelanggaran HAM.
Desakan Penegakan Hukum Berkeadilan dan Perspektif Gender
Komnas HAM menyerukan agar majelis hakim memeriksa perkara ini secara objektif, adil, dan dengan perspektif gender.
Komisi juga mendorong adanya pemberian kompensasi dan restitusi kepada keluarga korban.
“Jika unsur kekerasan seksual terbukti, terdakwa wajib dijerat pula dengan pasal dalam UU TPKS agar keadilan dapat ditegakkan secara utuh,” tegas Uli.
Komnas HAM berharap opini resmi ini menjadi pertimbangan penting dalam sidang, serta mendorong institusi peradilan militer untuk tidak mengabaikan keadilan korban hanya karena pelaku adalah anggota TNI.