Setiap 1 Juni, kita kembali mengenang kelahiran Pancasila, dasar negara yang tidak hanya berisi prinsip normatif, tetapi juga menjadi pijakan etis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, memperingati Hari Lahir Pancasila di abad ke-21 tidak lagi cukup dengan seremonial dan retorika.
Oleh: Ahmad Gafuri, SH., MH*)
Kita dihadapkan pada tantangan zaman yang jauh berbeda dari generasi pendiri bangsa. Salah satu tantangan paling nyata hari ini adalah bagaimana Pancasila bisa menjawab krisis etika yang tengah berlangsung di ruang digital.
Revolusi digital telah mengubah cara manusia berinteraksi.
Dengan 139 juta pengguna internet aktif di Indonesia (data APJII 2024), ruang maya bukan lagi sekadar sarana hiburan atau komunikasi, tetapi telah menjadi arena pembentukan opini publik, pembelajaran politik, bahkan medan konflik identitas.
Setiap orang kini memegang "panggung mini"-nya sendiri untuk menyuarakan pandangan, termasuk yang mengandung potensi provokasi, polarisasi, bahkan radikalisasi.
Kondisi ini sejalan dengan apa yang diperingatkan Manuel Castells (2010) dalam teori Network Society-nya, bahwa masyarakat kini hidup dalam jejaring yang saling terkoneksi secara global dan simultan.
Dalam masyarakat jejaring ini, informasi menyebar begitu cepat dan cenderung tidak terkontrol.
Ironisnya, algoritma platform digital justru memperparah polarisasi, karena mereka mengutamakan keterlibatan (engagement) daripada akurasi kebenaran.
Fenomena ini selaras pula dengan konsep Echo Chamber (Sunstein, 2001), di mana orang cenderung hanya berinteraksi dengan mereka yang sependapat.
Akibatnya, masyarakat makin terpecah ke dalam "gelembung" informasi masing-masing, kehilangan ruang dialog yang sehat, dan memperlemah rasa kebangsaan yang menjadi fondasi Pancasila.
Di tengah arus informasi yang makin sulit dikendalikan, Pancasila sebagai ideologi terbuka (Kaelan, 2000) menjadi sangat relevan.
Sebagai ideologi terbuka, Pancasila memiliki elastisitas untuk beradaptasi mengikuti perkembangan zaman, namun tetap berakar pada nilai-nilai dasar yang tidak bisa ditawar, yaitu kemanusiaan, keadilan, persatuan, demokrasi, dan ketuhanan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, Pancasila lahir dari kebudayaan Indonesia sendiri, bukan adopsi buta dari ideologi luar.
Karena itu, Pancasila mampu menjadi saringan kultural terhadap infiltrasi ideologi radikal, ekstremis, maupun pragmatisme neoliberal yang mengikis rasa keadilan sosial.
Dalam konteks ruang digital, Pancasila memberikan lima pedoman etis:
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengajarkan untuk menjaga kesantunan berpendapat dan menghargai keyakinan orang lain di media sosial.
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yaitu frasa pendorong sikap empati, anti-perundungan digital, dan anti-ujaran kebencian.
Persatuan Indonesia: Melawan narasi pemecah-belah identitas SARA yang sering muncul di ruang maya.
Kerakyatan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Menjunjung dialog terbuka yang deliberatif dan menjauhkan diri dari debat kusir di media sosial.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Mendorong akses informasi digital yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerah terpencil.
Salah satu krisis digital yang paling memprihatinkan adalah maraknya disinformasi.
Menurut laporan Kominfo 2023, sepanjang tahun ditemukan lebih dari 11.000 hoaks yang beredar di berbagai platform.
Disinformasi tidak hanya berbahaya karena memanipulasi opini publik, tetapi juga memicu keresahan sosial yang merusak harmoni kebangsaan.
Lebih jauh, disinformasi seringkali dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi intoleran.
Mereka memanfaatkan algoritma media sosial untuk menggaet generasi muda, yang cenderung rentan karena literasi digital yang belum matang.
Dalam kerangka Social Responsibility Theory of the Press (Siebert et al., 1956), kebebasan berekspresi yang diberikan media digital harus dibarengi dengan tanggung jawab sosial.
Sayangnya, tidak semua aktor digital menjalankan tanggung jawab ini. Sebagian justru mengejar viralitas dengan mengorbankan akurasi informasi.
Akibatnya, lahirlah krisis Civic Online Reasoning (Wineburg & McGrew, 2016), yaitu ketidakmampuan sebagian besar pengguna internet dalam membedakan fakta dan opini, berita sahih dan hoaks, serta sumber kredibel dan propaganda.
Generasi muda menjadi pihak yang paling strategis sekaligus paling rentan.
Sebagai digital natives, generasi muda Indonesia memegang posisi strategis sebagai penjaga masa depan Pancasila.
Namun, mereka tidak cukup hanya diajari menghafal Pancasila, melainkan perlu diajak menginternalisasi nilai-nilainya secara aktual di dunia maya.
Untuk itu, pendidikan literasi digital berbasis nilai Pancasila menjadi sangat penting.
Literasi digital tidak cukup sekadar kemampuan mengoperasikan aplikasi, tetapi mencakup:
Kemampuan evaluatif kritis: Membedakan kebenaran dan manipulasi informasi.
Kesadaran etis: Menghargai perbedaan pandangan tanpa menyerang pribadi.
Tanggung jawab sosial: Berani melawan hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye radikal.
Inisiatif seperti program Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) yang diusung Kominfo, atau gerakan fact-checking seperti CekFakta dan MAFINDO, patut diperluas ke semua lapisan masyarakat.
Ketahanan ideologi kini bukan lagi hanya soal menjaga batas teritorial, tetapi juga ketahanan budaya dan moral di dunia maya.
Negara-negara maju bahkan mulai menempatkan literasi digital sebagai bagian dari ketahanan nasional mereka.
Finlandia, misalnya, sejak 2014 memasukkan media literacy ke dalam kurikulum wajib sebagai benteng melawan propaganda asing.
Indonesia bisa belajar dari pendekatan ini. Jika kita gagal memperkuat ketahanan ideologi di ruang digital, dikhawatirkan bangsa ini akan mengalami fragmentasi digital society — masyarakat yang terbelah secara ideologis, sosial, bahkan politik.
Sebaliknya, bila kita mampu membumikan nilai-nilai Pancasila secara konkret dalam etika bermedia, maka ruang digital justru bisa menjadi kekuatan baru untuk memperkuat kohesi sosial bangsa.
Peringatan Hari Lahir Pancasila bukan sekadar perayaan seremonial tahunan, tetapi momen kontemplasi kolektif.
Di tengah krisis digital global, bangsa ini diberi ujian baru: mampukah Pancasila tetap hidup sebagai pedoman moral di ruang maya yang nyaris tanpa batas?
Pancasila sejatinya adalah jembatan antara kemajuan teknologi dan etika kemanusiaan.
Ia bukan sekadar dokumen konstitusional, melainkan etos hidup bangsa Indonesia yang menjunjung martabat manusia, keadilan sosial, dan harmoni kebhinekaan.
Ke depan, kerja besar ini membutuhkan kolaborasi seluruh pihak: negara, masyarakat sipil, akademisi, media, dan tentu saja, generasi muda.
Jika Pancasila mampu kita bumikan kembali sebagai living ideology di dunia digital, maka Indonesia bukan hanya akan tetap kokoh di tengah gempuran zaman, tetapi juga menjadi model bangsa modern yang mampu menjaga jati dirinya di tengah arus globalisasi.
*) Ahmad Gafuri adalah Dosen Pancasila STIT Darussalam Kotabaru, Kalimantan Selatan.