Gelombang besar aksi protes meledak di jantung ibu kota. Sebanyak 25.000 pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera mengepung Jakarta dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung hari ini. Mereka membawa satu pesan jelas, yaitu hentikan potongan aplikasi yang mencekik.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Aksi ini dikomandoi oleh Garda Indonesia, asosiasi pengemudi ojol terbesar, sebagai puncak dari kekecewaan mereka terhadap lambatnya penanganan pemerintah terhadap dugaan pelanggaran regulasi oleh para aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim, hingga Indrive.
“Sejak 2022 pelanggaran dibiarkan. Hari ini adalah puncak amarah kami,” tegas Ketua Umum Garda, Raden Igun Wicaksono.
5 Titik Aksi, Layanan Ojol Lumpuh Sementara
Demo ini berlangsung serentak di lima titik strategis: Kementerian Perhubungan, Istana Merdeka, DPR RI, kantor para aplikator, serta titik-titik layanan perusahaan aplikasi.
Bahkan, pengemudi melakukan aksi off-bid (mematikan aplikasi) yang menyebabkan gangguan signifikan terhadap layanan antar dan transportasi online hari ini.
Tuntut Turunkan Potongan, Tetapkan Tarif Kiriman
Para driver mendesak pemerintah memberi sanksi kepada aplikator yang dianggap melanggar regulasi, khususnya terkait Peraturan Menteri Perhubungan PM No.12/2019 dan Kepmenhub KP No.1001/2022.
Tuntutan utama para pengemudi ojol dalam aksi ini mencakup sejumlah poin penting yang mereka nilai sangat mendesak untuk diperjuangkan.
Pertama, mereka meminta agar potongan biaya aplikasi yang selama ini dikenakan oleh aplikator diturunkan dari 20 persen menjadi maksimal 10 persen.
Mereka beranggapan potongan 20 persen itu terlalu memberatkan dan menggerus pendapatan mereka secara signifikan.
Selanjutnya, mereka mendesak adanya penetapan tarif khusus untuk layanan pengantaran makanan dan kiriman barang.
Saat ini, tarif layanan tersebut dinilai tidak berpihak pada mitra pengemudi dan sering kali berubah-ubah tanpa transparansi.
Selain itu, para pengemudi menolak berbagai skema tarif penumpang yang dinilai merugikan, seperti fitur “aceng”, “slot prioritas”, dan “hemat”.
Menurut mereka, fitur-fitur tersebut hanya menguntungkan aplikator, sementara penghasilan pengemudi semakin ditekan.
Terakhir, mereka menuntut agar proses penetapan kebijakan tarif ke depan harus melibatkan berbagai pihak terkait secara langsung.
Termasuk asosiasi pengemudi, regulator pemerintah, aplikator, dan juga YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), guna memastikan regulasi yang lebih adil dan transparan.
Status Mitra vs Karyawan
Sementara itu, muncul pula wacana perubahan status driver dari mitra menjadi karyawan tetap.
Namun aplikator seperti Grab, Gojek, Indrive, dan Maxim secara tegas menolak.
Mereka menilai skema tersebut berpotensi mengurangi jumlah driver aktif hingga 90% dan membebani operasional perusahaan.
Presiden Gojek, Catherine Hindra, menegaskan bahwa jika mereka dijadikan karyawan itu akan mengurangi inklusivias
“Jika dijadikan karyawan, akan mengurangi inklusivitas. Fleksibilitas adalah kekuatan utama ojol,” ungkapnya.
Aplikator Klaim Tidak Langgar Regulasi
Grab dan Gojek menegaskan bahwa potongan aplikasi yang dikenakan sesuai regulasi, yaitu 20 persen yang terdiri dari 15 persen komisi dan 5 persen biaya tambahan.
Bahkan, Indrive menyebut potongannya lebih kecil, maksimal 11,7 persen untuk mobil dan 9,99 persen untuk motor.
Namun menurut para driver, pemotongan yang dilakukan tidak transparan dan justru menekan penghasilan mereka setiap bulan.
Apakah pemerintah dan aplikator akan mendengarkan suara jalanan ini?
Atau justru memilih tetap bungkam? Aksi ini bisa jadi awal dari perubahan besar dalam dunia transportasi online Indonesia.