Transformasi digital, layanan emas mikro, dan program keberlanjutan menjadikan Pegadaian sebagai mitra keuangan inklusif yang benar-benar hadir untuk masyarakat.
Oleh: MS Shiddiq *)
Di sebuah gang kecil di Banyuwangi, suara mesin penggiling kopi bercampur dengan notifikasi ponsel. Rina (32), pemilik kedai kopi rumahan, tersenyum ketika melihat saldo Tabungan Emas bertambah.
“Dulu saya pikir investasi itu hanya untuk orang kaya. Sekarang, saya bisa mulai dari belasan ribu rupiah,” tuturnya.
Kisah Rina, yang juga pernah diangkat dalam laporan Kompas (2024), mencerminkan wajah baru Pegadaian: inklusif, digital, dan berkelanjutan.
Transformasi digital mengubah wajah Pegadaian dari loket manual menjadi layanan berbasis aplikasi.
Melalui ponsel, nasabah bisa membuka Tabungan Emas, top up saldo, memperpanjang gadai, hingga melakukan cicilan tanpa perlu antre.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK (2022) mencatat indeks inklusi naik menjadi 85,1%, dari 76,2% pada 2019.
Lompatan ini didukung oleh layanan digital lembaga keuangan, termasuk Pegadaian.
“Digital itu bukan sekadar memindahkan loket ke aplikasi. Intinya merancang perjalanan nasabah agar lebih adil, aman, dan sederhana,” kata Dimas, analis keuangan yang dikutip dari Bisnis Indonesia (2024).
Di banyak keluarga Indonesia, emas telah lama menjadi simbol keamanan. Dahulu, tradisi menyimpan emas identik dengan membeli perhiasan atau menabung dalam bentuk logam mulia yang membutuhkan modal besar.
Namun kini, tradisi itu menemukan wajah baru melalui Tabungan Emas Pegadaian. Produk ini memberi kesempatan bagi siapa saja untuk mulai berinvestasi hanya dengan Rp10.000.
Tidak mengherankan bila produk ini berkembang pesat. Laporan Tahunan Pegadaian 2023 mencatat lebih dari 6,5 juta rekening Tabungan Emas aktif di seluruh pelosok negeri.
Bagi banyak orang, Tabungan Emas menjadi jembatan untuk memasuki dunia investasi tanpa rasa takut.
Lebih jauh lagi, Pegadaian memperkenalkan konsep Bank Emas, yang menjadikan emas bukan hanya sekadar simpanan.
Ia bisa dijadikan jaminan untuk modal usaha, dicicil untuk kepemilikan, hingga dialihkan untuk biaya pendidikan.
Kemudahan ini menjadikan emas tidak lagi sekadar benda berharga, tetapi instrumen yang cair, fleksibel, dan relevan dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Tren ini selaras dengan temuan CNBC Indonesia (2023), yang melaporkan bahwa generasi milenial kini semakin menjadikan emas sebagai salah satu instrumen investasi utama.
Alasannya sederhana, bahwa emas dianggap aman, stabil, dan mudah diakses, terutama ketika disediakan dalam format tabungan digital.
Dari mahasiswa, guru honorer, pedagang kecil, hingga pekerja kantoran, semua kini punya akses yang sama untuk membangun masa depan lewat emas.
Namun, Pegadaian tidak berhenti pada inovasi produk. Sebagai perusahaan, Pegadaian menegaskan komitmennya untuk menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance).
Salah satu wujud nyatanya adalah program Bank Sampah, yang berhasil mengelola lebih dari 4.200 ton sampah sepanjang 2023.
Menariknya, sebagian sampah tersebut dikonversi menjadi saldo emas.
Bagi masyarakat, terutama komunitas ibu rumah tangga, program ini bukan hanya cara menjaga lingkungan, tetapi juga pintu masuk untuk memiliki tabungan emas dengan cara sederhana dan menyenangkan.
Selain itu, Pegadaian aktif menebarkan literasi keuangan ke berbagai lapisan masyarakat.
Hingga 2023, lebih dari 200.000 peserta telah mengikuti kelas literasi yang diselenggarakan di berbagai daerah.
Edukasi ini menjadi bekal penting agar masyarakat tidak hanya menabung, tetapi juga benar-benar memahami arti penting pengelolaan keuangan yang sehat.
“Keberlanjutan itu bukan proyek musiman, tapi harus tertanam dalam pengambilan keputusan,” ujar Nirmala, peneliti tata kelola di Lembaga Riset Keuangan Jakarta (2024).
Ucapan ini menegaskan bahwa keberlanjutan bukanlah kampanye sesaat, melainkan budaya yang harus hidup dalam setiap langkah bisnis.
Dengan kombinasi inovasi produk, kepedulian sosial, dan komitmen lingkungan, Pegadaian tidak hanya tumbuh sebagai lembaga keuangan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang menghubungkan masa depan ekonomi dengan keberlanjutan planet ini.
Di balik data dan inovasi, kisah nyata para nasabah Pegadaian menghadirkan wajah humanis dari sebuah transformasi.
Dari warung kopi sederhana di ujung kota, ruang kelas sekolah di desa, hingga sudut kampung yang dipenuhi suara ibu-ibu memilah sampah, semuanya menunjukkan bagaimana layanan Pegadaian benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat.
Rina, pemilik kedai kopi di Banyuwangi, adalah salah satu contohnya. Usahanya sempat tersendat karena keterbatasan modal.
“Dulu saya sering lewatkan pesanan besar karena tak punya modal,” kenangnya.
Namun semua berubah sejak ia mengenal gadai digital. Kini, cukup dengan aplikasi, modal cair dalam hitungan menit, dan usahanya bisa terus berjalan.
Pengalaman Rina sejalan dengan data Bisnis Indonesia (2024) yang mencatat lebih dari 1,3 juta nasabah telah aktif memanfaatkan layanan gadai digital Pegadaian.
Kisahnya menjadi bukti bahwa teknologi finansial tidak hanya mempermudah, tapi juga membuka pintu rezeki baru bagi pelaku UMKM.
Tidak jauh berbeda, Andi (27), seorang guru honorer di Sleman, merasakan manfaat melalui Tabungan Emas.
Dengan penghasilan yang terbatas, ia memilih menabung Rp25.000 setiap minggu.
“Saya menabung nilainya, bukan sekadar angka. Ada ketenangan karena emas itu nyata,” tuturnya.
Pilihannya mencerminkan tren generasi muda Indonesia, di mana Katadata Insight Center (2023) menemukan bahwa 68% anak muda lebih percaya emas sebagai instrumen utama untuk menyimpan nilai.
Dari kelas sederhana, Andi membuktikan bahwa investasi tidak harus menunggu kaya, melainkan bisa dimulai dengan langkah kecil yang konsisten.
Sementara itu, di Makassar, sekelompok ibu-ibu PKK menghadirkan cerita berbeda namun tak kalah inspiratif.
Mereka mengelola bank sampah yang bermitra dengan Pegadaian.
Setiap botol plastik dan kantong kresek yang dulu hanya menjadi limbah kini bisa ditukar dengan saldo emas.
“Awalnya orang ikut karena hadiah. Lama-lama sadar: ini bisa jadi tabungan sekolah anak,” ungkap Sari, koordinator kegiatan.
Menurut laporan Tempo.co (2023), saat ini ada lebih dari 700 unit bank sampah di seluruh Indonesia yang bekerja sama dengan Pegadaian.
Program ini bukan hanya membantu mengurangi masalah sampah, tapi juga menanamkan kebiasaan menabung dan memberi nilai baru pada hal-hal yang sebelumnya dianggap tak berharga.
Pencapaian Pegadaian dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya terlihat dari cerita individu, tetapi juga terekam jelas melalui data.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022 mencatat bahwa indeks inklusi keuangan Indonesia telah mencapai 85,1%, meningkat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Angka ini menegaskan bahwa semakin banyak masyarakat, termasuk kelompok rentan seperti pekerja informal, pelajar, hingga pelaku UMKM, kini memiliki akses terhadap layanan keuangan.
Pegadaian, dengan inovasi digital dan produk tabungan mikro, menjadi salah satu motor penggerak di balik capaian tersebut.
Dari sisi produk, Tabungan Emas Pegadaian terus menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan.
Hingga 2023, tercatat lebih dari 6,5 juta rekening aktif tersebar di seluruh pelosok negeri.
Data ini tidak hanya mencerminkan popularitas produk, tetapi juga menunjukkan betapa konsep investasi mikro telah diterima oleh berbagai kalangan, dari pedagang kecil hingga kalangan profesional muda.
Tabungan Emas memberi bukti nyata bahwa investasi kini bukan lagi monopoli kalangan berduit besar, melainkan dapat dijangkau siapa saja mulai dari Rp10.000.
Sementara itu, komitmen Pegadaian terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial juga terukur dengan jelas.
Melalui program Bank Sampah, sebanyak 4.200 ton sampah berhasil dikelola sepanjang 2023. Bahkan, menurut laporan Tempo.co (2023), jaringan Bank Sampah yang bermitra dengan Pegadaian sudah mencapai lebih dari 700 unit di berbagai daerah.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari upaya nyata menghadirkan solusi ganda: yaitu mengurangi masalah lingkungan sekaligus membuka kesempatan menabung emas dari sesuatu yang sering dianggap tidak bernilai, yaitu sampah rumah tangga.
Dalam era digital, kecepatan dan kemudahan sering kali menjadi sorotan utama. Namun, bagi masyarakat, ada hal lain yang lebih penting: rasa aman dan kepercayaan.
Nasabah ingin memastikan bahwa setiap data pribadi terlindungi, setiap biaya jelas, dan tidak ada risiko tersembunyi di balik layanan keuangan.
Inilah sebabnya mengapa Pegadaian menempatkan keamanan data dan transparansi biaya sebagai fondasi.
Hasil riset LSI (2024) menunjukkan bahwa Pegadaian masuk ke dalam lima besar lembaga keuangan paling dipercaya publik di Indonesia.
Capaian ini tentu bukan sekadar angka dalam survei, melainkan cermin dari hubungan yang dibangun berdasarkan keterbukaan dan kejujuran.
“Keuangan yang sehat dimulai dari informasi yang jujur,” ungkap Nirmala, seorang peneliti tata kelola keuangan.
Pernyataan ini mengingatkan bahwa kepercayaan tidak lahir dari janji manis, melainkan dari konsistensi dalam memberi informasi yang jelas dan mudah dipahami masyarakat.
Dengan transparansi penuh terhadap risiko dan biaya, nasabah tidak lagi sekadar menjadi pihak yang bertransaksi.
Mereka diajak memahami nilai yang sedang dibangun, sehingga hubungan antara Pegadaian dan masyarakat berkembang dari sekadar pelanggan menjadi mitra sejati.
Lebih jauh dari itu, visi besar Pegadaian terangkum dalam satu kalimat sederhana namun penuh makna: MengEMASkan Indonesia.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar seperti slogan. Namun sejatinya, ia adalah sebuah gerakan yang lahir dari komitmen untuk memberdayakan individu sekaligus memperkuat fondasi bangsa.
Menurut Bappenas (2023), literasi keuangan dan pembangunan ekonomi hijau menjadi prioritas nasional.
Pegadaian mengambil peran nyata di dalamnya: menghadirkan layanan digital agar akses keuangan semakin mudah, membangun ekosistem emas agar investasi bisa dimulai dari angka kecil, dan mengembangkan program keberlanjutan seperti bank sampah yang memberi nilai baru bagi lingkungan.
Jika dulu Pegadaian dikenal dengan slogan “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”, kini lembaga ini hadir dengan wajah baru yang lebih visioner: “MengEMASkan Indonesia.”
Filosofi ini bukan sekadar tentang emas sebagai komoditas, melainkan tentang bagaimana setiap orang, dari kota hingga desa, bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang lebih sejahtera.
Dari kedai kopi kecil di Banyuwangi yang kini bisa menerima pesanan besar berkat gadai digital, dari ruang kelas sederhana di Sleman di mana seorang guru honorer perlahan menabung emas untuk masa depan, hingga dari sudut perkampungan di Makassar di mana ibu-ibu PKK mengubah sampah menjadi tabungan sekolah anak-anak, semua kisah ini membuktikan bahwa layanan keuangan dapat benar-benar membawa harapan baru bagi rakyat.
Pada akhirnya, MengEMASkan Indonesia adalah tentang perjalanan bersama, yaitu perjalanan di mana setiap individu berkontribusi, setiap komunitas berdaya, dan seluruh bangsa bergerak menuju kesejahteraan yang lebih berkelanjutan.