Narasi Perang dan Ujian Akal Sehat Indonesia

Redaksi - Sabtu, 21 Juni 2025 | 17:51 WIB

Post View : 5

ILUSTRASI: Presiden Prabowo Subianto perlu menyatakan sikap Indonesia terkait konflik antara Iran-Israel secara bijak. (BANUATERKINI/Reihan IM)

Konflik bersenjata antara Iran dan Israel kembali menempatkan dunia di ujung tebing eskalasi besar. Roket, rudal, dan propaganda beterbangan hampir bersamaan. Bagi banyak negara, ini adalah soal strategi dan aliansi. Tapi bagi Indonesia, ini soal narasi, persepsi, dan posisi, di panggung global dan di ruang batin masyarakat sendiri.

Oleh: MS Shiddiq *)

Pertanyaannya bukan sekadar “siapa yang benar?” Tapi lebih dalam, “apa posisi kita dalam kekacauan global ini, dan bagaimana kita menyampaikannya?”

Politik Luar Negeri, Politik Komunikasi

Pemerintah Indonesia sudah menyampaikan pernyataan resmi, yaitu menyerukan penghentian kekerasan dan menghormati hukum internasional.

Ini langkah awal yang benar. Tapi tidak cukup. Dalam dunia yang penuh kebisingan ini, diam adalah penyerahan makna kepada pihak lain.

Kita perlu lebih dari pernyataan, kita butuh narasi yang bermakna dan dipercaya.

Konflik Iran–Israel bukan hanya urusan dua negara. Ia membawa beban sejarah Palestina, tragedi Gaza, kekuatan militer Israel, dan perlawanan dunia Islam. Ia hadir di ruang publik kita, di layar-layar gawai warga Indonesia, setiap hari.

Pemerintah harus menyadari bahwa komunikasi politik luar negeri kini tak bisa eksklusif dan teknokratis.

Ia harus populis, tetapi tetap rasional. Ia harus menjangkau emosi, tanpa kehilangan etika.

Polarisasi Simbolik, Celah Radikalisasi

Kita sudah cukup sering melihat konflik luar negeri diubah menjadi panggung dalam negeri. Palestina, Suriah, Irak, Afghanistan, semua pernah dijadikan bahan bakar politik identitas.

Kali ini, ancamannya datang lagi. Perang Iran–Israel bisa dengan mudah disulap menjadi isu “perang agama” di Indonesia.

Dan jika itu terjadi, kita membuka pintu bagi radikalisme baru, ekstremisme simbolik, dan kekerasan verbal maupun fisik.

Di sinilah pentingnya komunikasi politik strategis dari negara. Pemerintah harus bersuara jelas: bahwa kita membela kemanusiaan, bukan membela senjata.

Bahwa kita berpihak pada perdamaian, bukan pada salah satu kepentingan politik luar.

Dan bahwa kita peduli pada rakyat Palestina tanpa harus membakar bendera atau menyerukan kebencian.

Waspadai Efek Domino Ekonomi dan Sosial

Konflik ini juga mengandung risiko riil, yaitu kenaikan harga minyak, ketidakpastian ekonomi global, potensi serangan siber, dan ancaman terhadap keselamatan WNI di kawasan konflik.

Pemerintah perlu mengantisipasi krisis ini bukan hanya dengan kalkulasi fiskal, tapi dengan komunikasi publik yang jujur dan persuasif.

Jika harga BBM terpaksa naik, masyarakat berhak diberi alasan yang transparan. Jangan ulangi pola lama, yaitu diam-diam memindahkan beban kepada rakyat.

Pada saat yang sama, puluhan ribu WNI, termasuk TKI, pelajar, dan diaspora, berada di kawasan Timur Tengah.

Konflik bisa berubah cepat, meluas ke Lebanon, Suriah, atau bahkan Yordania. Pemerintah harus hadir, bukan nanti, tapi sekarang.

Bukan hanya dalam bentuk surat edaran, tapi juga dalam bentuk komunikasi langsung, hotline perlindungan, dan skenario evakuasi yang jelas.

Diplomasi Butuh Wajah, Bukan Sekadar Teks

Sudah saatnya Indonesia bicara di forum internasional dengan posisi yang lebih jelas dan wajah yang meyakinkan.

OKI, PBB, G20, semua panggung itu harus kita manfaatkan untuk mengirim pesan, bahwa Indonesia tidak berdiri diam, tapi berdiri waras.

Gunakan tokoh-tokoh Indonesia yang kredibel: diplomat, ulama moderat, akademisi, aktivis kemanusiaan.

Biarkan dunia tahu, bahwa Indonesia tidak netral terhadap penderitaan, tapi juga tidak sembarangan memihak dalam konflik. 

Perang Butuh Damai, dan Damai Butuh Suara

Di zaman pasca-kebenaran seperti sekarang, siapa yang menguasai narasi, ia menguasai legitimasi.

Indonesia harus berani memilih, apakah menjadi gema dari narasi luar, atau menjadi suara yang memperbaiki arah dunia.

Maka, jangan biarkan konflik global ini menyeret kita dalam pusaran kebencian dan kebingungan.

Jadilah bangsa yang bersuara dengan akal sehat, bukan hanya dengan teriakan.

“Jika dunia tak punya cukup negara besar untuk menghentikan perang, setidaknya dunia butuh negara waras yang tak ikut memperburuknya.”

MS Shiddiq Elbanjary, Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com

Halaman:
Baca Juga :  Kotak “Kardus” Paman, Simbol Korupsi yang Mengakar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev