Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI), Nasaruddin Umar, menegaskan komitmen kuat Indonesia dalam mendorong dialog antaragama, memperjuangkan perdamaian, serta menegakkan keadilan sosial di tingkat global.
Banuaterkini.com,WASHINGTON D.C. – Pernyataan tersebut disampaikannya dalam forum internasional bergengsi bertajuk “Religion and Diplomacy in a Fragmented World” yang diselenggarakan oleh School of Foreign Service Institute for the Study of Diplomacy dan Alwaleed Center for Muslim-Christian Understanding di Georgetown University, Amerika Serikat.
Dalam forum yang berlangsung di Washington, D.C., Menag menyampaikan bahwa setiap kebijakan strategis di Indonesia selalu berpijak pada nilai-nilai agama.
"Tidak ada kebijakan strategis di Indonesia yang diambil tanpa mempertimbangkan nilai-nilai agama," tegas Nasaruddin, alumnus program post-doktoral Georgetown University, seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kamis (22/05/2025).
Nasaruddin menekankan bahwa kebebasan beragama merupakan hak konstitusional di Indonesia, namun harus dijalankan dengan rasa tanggung jawab serta penghormatan terhadap hak-hak orang lain.
“Ini adalah wujud nyata dari moderasi beragama di Indonesia,” ujarnya.
Salah satu inisiatif unggulan yang diperkenalkan Menag adalah Curriculum of Love, sebuah kurikulum nasional berbasis cinta kasih yang bertujuan menanamkan nilai kebangsaan, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman sejak dini dalam sistem pendidikan.
“Kami menanamkan bahwa menjadi orang beragama berarti menjadi warga negara yang baik. Toleransi bukan menyamakan semua agama, melainkan menghargai perbedaan dan membiarkan setiap orang menjalankan keyakinannya secara bebas,” jelasnya.
Dalam forum yang dipandu oleh Dr. Nader Hashemi dan dihadiri cendekiawan Asia Tenggara, Dr. Kevin W. Fogg dari University of North Carolina, Nasaruddin menjelaskan bahwa Indonesia merupakan laboratorium keberagaman dunia.
Dengan lebih dari 700 bahasa daerah, 1.300 suku bangsa, enam agama resmi, serta ratusan kepercayaan lokal, Indonesia menjadi bukti hidup bahwa perbedaan dapat bersatu dalam harmoni.
“Agama di Indonesia bukan hanya identitas spiritual, tetapi pilar penting untuk menjaga kohesi sosial dan stabilitas politik,” ujar Nasaruddin.
Menag juga menyoroti kontribusi agama dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
Ia menuturkan bahwa organisasi keagamaan di Indonesia telah memainkan peran vital dalam membuka akses pendidikan dan partisipasi politik bagi perempuan.
“Tidak kurang dari 25 persen lembaga pendidikan di Indonesia dikelola oleh organisasi keagamaan. Mereka berada di garis depan dalam pemberdayaan perempuan,” katanya.
Ia bahkan menyebut gerakan perempuan Indonesia sebagai salah satu yang paling berhasil dalam dunia Islam.
Tak hanya itu, Nasaruddin juga mengenalkan konsep ekoteologi, yakni pendekatan spiritual dalam pelestarian lingkungan.
“Krisis lingkungan bukan hanya soal teknologi, tapi soal cara pandang manusia terhadap dirinya dan alam semesta,” paparnya.
Ia mencontohkan gerakan penanaman pohon oleh Kementerian Agama di sekolah, kantor, dan rumah ibadah sebagai bentuk ibadah ekologis sekaligus pendidikan karakter.
Menutup pidatonya, Nasaruddin mengajak seluruh peserta forum untuk memperkuat dialog Abrahamik.
Ia mengutip Surat Al-Baqarah ayat 62, yang menegaskan bahwa keselamatan adalah milik siapa pun yang beriman dan berbuat baik, tak hanya dari kalangan Muslim, tetapi juga Yahudi, Kristen, dan Sabiin.
“Kita semua adalah pewaris agama Abrahamik. Mari bekerja sama menjadikan dunia ini lebih damai dan berkeadilan,” tutup Nasaruddin.
Forum internasional ini dihadiri oleh berbagai tokoh lintas agama dan budaya dunia, yang mengapresiasi peran Indonesia sebagai negara demokratis berpenduduk Muslim terbesar yang sukses menjaga harmoni antarpemeluk agama, menumbuhkan nilai toleransi, dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan spiritual.