Desakan terhadap reformasi sistem peradilan militer kembali menguat seiring penyelenggaraan Forum Diskusi Nasional bertajuk “Reformasi Hukum Militer dan Keadilan Substantif”, yang bakal digelar Sabtu (09/08/2025) di Gedung Rektorat Universitas Islam Kalimantan (UNISKA MAB), Banjarmasin.
Banuaterkini.com, BANJARMASIN - Diskusi publik ini akan membedah secara kritis putusan Pengadilan Militer Nomor 11-K/PM.I-06/AL/IV/2025, yang terkait kasus kematian tragis Almarhumah Juwita, seorang perempuan sipil yang diduga menjadi korban kekerasan oleh oknum militer.
Meskipun putusan telah dijatuhkan, eksekusi dan pemenuhan hak korban dinilai belum mencerminkan keadilan substantif.
FGD akan menghadirkan berbagai narasumber penting, antara lain Komisioner Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing, perwakilan LPSK Rianto Wicaksono, serta akademisi dan praktisi hukum nasional dan daerah seperti Iwan Aflanie, Akhmad Munawar, Lena Hanifah, dan mantan Komisioner Komnas HAM Hairansyah.
Kegiatan ini juga akan diikuti oleh AJI Persiapan Banjarmasin serta Tim Advokasi Untuk Keadilan Juwita (AUKJ), yang selama ini mengawal proses hukum kasus tersebut.
Ketua Pelaksana, Muhammad Laily Maswandi, menyatakan bahwa kegiatan ini bukan sekadar forum akademik, melainkan bentuk tanggung jawab publik terhadap sistem hukum yang adil dan terbuka.
“Forum ini bukan hanya akademik, tetapi panggilan nurani bersama untuk memastikan bahwa keadilan tidak berhenti pada batas institusi. Korban sipil tidak boleh menjadi titik buta dalam sistem hukum kita,” ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua Tim AUKJ, Muhamad Pazri, menekankan pentingnya menyoroti pelaksanaan keadilan secara nyata, bukan sekadar simbolik.
“Keadilan tidak cukup ditegakkan melalui putusan. Kita perlu memastikan bahwa eksekusi putusan dan pemulihan korban benar-benar dijalankan secara berkeadilan dan transparan. Kasus Juwita harus menjadi pelajaran, bukan luka yang berulang,” katanya.
Suasana haru mewarnai sesi testimoni keluarga korban. Diwakili oleh Praja dan Susi, pihak keluarga mengungkapkan harapannya agar hukum tidak ikut “mati” bersama kepergian Juwita.
“Kami tidak menuntut balas. Kami hanya ingin keadilan yang tidak setengah hati. Adik kami sudah pergi, tapi jangan biarkan hukum ikut mati bersamanya. Dengan acara ini semoga menjadi amal jariyah untuk Almarhumah adik kami Juwita,” tutur mereka dengan suara lirih.
Diskusi ini terbuka untuk publik dan telah mendapat sambutan antusias dari mahasiswa, aktivis, akademisi, dan jurnalis.
Dresscode lokal seperti batik dan sasirangan menambah warna lokalitas dalam diskusi yang membahas isu nasional ini.
Isu reformasi peradilan militer telah lama menjadi perhatian organisasi HAM, mengingat pengadilan militer kerap dinilai tertutup dan tidak menjamin transparansi serta akuntabilitas, terutama dalam kasus yang melibatkan korban sipil.
Komnas HAM sebelumnya juga menyoroti pentingnya harmonisasi hukum militer dengan sistem peradilan umum dalam konteks perlindungan hak asasi manusia.
Forum ini diharapkan menjadi momen refleksi nasional untuk meninjau ulang sistem hukum militer yang dinilai masih eksklusif dan tidak berpihak pada korban, sekaligus memperkuat jejaring advokasi keadilan di Indonesia.