Di balik gemerlap gedung-gedung tinggi Ibu Kota, Nuraisyah, seorang ibu berusia 80 tahun duduk lemah di kursi roda. Selang oksigen terpasang di hidungnya, napasnya berat, namun sorot matanya penuh tekad.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Didampingi anak-anaknya yang mendorong kursi roda bergantian, ia datang bukan untuk mengiba, tetapi untuk menagih hak yang telah dirampas.
Hari ini Rabu (09/04/2025), di halaman Mabes Polri, keluarga besar almarhum Binsar Panggabean hadir membawa dokumen resmi dan sejarah panjang perjuangan.
Mereka meminta negara, melalui Kapolri, agar segera mengakhiri pembiaran terhadap perampasan tanah milik mereka seluas 52.820 meter persegi di Desa Kampung Besar, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
Tanah itu diduga telah 12 tahun lebih dikuasai oleh PT Musim Semi Mas tanpa proses pembebasan yang sah, tanpa ganti rugi, tanpa musyawarah.
Padahal, hak atas lahan itu diperoleh almarhum Binsar melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 2/DA/HML/DS/1974 tertanggal 3 Januari 1974, yang menjadi alas hak resmi dan sah secara hukum.
Kedatangan mereka kali ini diterima oleh Divisi Propam dan Divisi Pengaduan Mabes Polri.
Mereka menuntut agar Kapolri segera memerintahkan pengukuran ulang serta mengambil tindakan terhadap pihak-pihak yang telah menggunakan tanah itu selama lebih dari satu dekade tanpa legalitas.
“Kami sudah datang ke berbagai instansi, tapi tidak ada yang benar-benar bertindak. Sekarang kami datang ke Mabes Polri, dan kami ingin ini menjadi yang terakhir, karena sudah terlalu lama kami menunggu,” ujar Herlambang Panggabean, anak tertua almarhum Binsar.
Surat-surat kepemilikan keluarga ini telah dinyatakan sah oleh berbagai lembaga kredibel, seperti Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara dan Kompolnas, namun proses hukum tak kunjung berjalan.
“Kami tidak akan pulang sebelum ada sikap pasti dari Kapolri,” tegas anak perempuan almarhum, Novita Panggabean, yang mendampingi ibunya dengan mata berkaca-kaca.
“Kami sudah cukup sabar. Kalau kami harus tinggal di sini sampai ada kejelasan, kami siap,” imbuhnya.
Kehadiran keluarga korban mafia tanah ini didampingi oleh Ketua Masyarakat Korban Mafia Tanah Indonesia (MKMTI), Treeswaty Lanny Susatya, yang mengecam keras lemahnya perlindungan hukum terhadap warga kecil.
“Seorang ibu yang sudah sakit-sakitan harus naik kursi roda dan menempuh ribuan kilometer hanya untuk menagih hak yang sah. Ini kegagalan sistemik,” kata Treeswaty.
“Kalau tanah seluas ini bisa dirampas tanpa proses sah, dan aparat hukum diam, maka jangan salahkan rakyat kalau kehilangan kepercayaan pada negara.”
Menurut Treeswaty, perjuangan keluarga Panggabean adalah simbol dari banyak warga Indonesia lainnya yang tanahnya dirampas di depan mata, tanpa pembelaan.
Negara, katanya, tak boleh lagi berdiri di balik kepentingan korporasi.
Mereka, kata Treeswaty, datang bukan membawa tuntutan liar, tapi permintaan paling dasar dalam negara hukum yaitu kepastian.
Kepastian bahwa tanah yang mereka miliki secara sah akan diakui dan dikembalikan. Kepastian bahwa mafia tanah tidak lagi dilindungi oleh diamnya institusi.
“Kami hanya ingin tanah kami kembali. Negara harusnya berdiri di samping rakyat, bukan korporasi,” pungkasnya.