Kejaksaan Agung menegaskan bahwa kasus dugaan korupsi Pertamina bukan soal pencampuran BBM secara ilegal. Masyarakat di daerah diimbau memahami perbedaan istilah teknis “blending” dengan “oplosan” yang kerap disalahartikan.
Banuaterkini.com, JAKARTA — Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Anang Supriatna menjelaskan bahwa kasus dugaan korupsi di PT Pertamina (Persero) tidak berkaitan dengan praktik “BBM oplosan” sebagaimana banyak diberitakan.
Menurut Anang, istilah yang benar secara teknis adalah “blending”, yakni pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan berbeda, bukan pencampuran ilegal seperti yang dipahami publik.
“Tidak ada istilah oplosan sekarang sebetulnya, kan blending-an,” ujar Anang di Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Ia menegaskan, praktik blending merupakan bagian dari proses produksi normal dalam industri migas.
Namun, dalam perkara ini, jaksa menemukan adanya penyalahgunaan tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang berdampak pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.
Dilansir dari Kompas.com, Total kerugian disebut mencapai Rp 285,98 triliun.
Kerugian tersebut berasal dari praktik impor BBM dengan perusahaan luar negeri seperti BP Singapore Pte Ltd dan Sinochem International Oil (Singapore) Pte Ltd, serta penjualan solar non-subsidi di bawah harga pasar kepada sejumlah perusahaan swasta.
Berdasarkan dakwaan, kerugian keuangan mencapai lebih dari Rp 70 triliun, sementara kerugian perekonomian nasional diperkirakan Rp 171,9 triliun.
Kasus ini turut menyeret mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PPN) periode 2023–2025 dan sejumlah pejabat lainnya.
Kejaksaan berharap publik tidak salah memahami istilah teknis yang muncul dalam pemberitaan agar fokus utama penegakan hukum tetap pada dugaan penyimpangan dan kerugian negara, bukan semata pada istilah yang digunakan.