Suasana haru menyelimuti ruang sidang Mahkamah Konstitusi saat Syarifah Hayana, Ketua Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) Kalimantan Selatan, mengungkap tekanan yang ia alami usai mengajukan gugatan hasil PSU Pilkada Banjarbaru.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Di ruang sidang perkara Nomor 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025, Syarifah mengaku mengalami intimidasi, kriminalisasi, hingga dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum.
“Kami tidak mengerti. Menjelang sidang, KPU, Bawaslu, dan Gakkumdu justru mencabut akreditasi pemantau kami dan memproses kami secara hukum,” kata Syarifah di hadapan majelis hakim MK yang dipimpin Arief Hidayat, Kamis (15/05/2025)
Dengan suara bergetar, Syarifah menyampaikan bahwa tekanan tidak hanya ditujukan kepadanya secara pribadi, tapi juga terhadap keluarganya.
“Saya... saya takut. Tapi saya tidak bisa tinggal diam ketika keadilan diinjak-injak,” tuturnya.
Sambil menahan air mata dan suara terbata-bata, Syarifah mempertanyakan apa salahnya dia melaporkan dugaan ketidakberesan yang terjadi pada PSU Banjarbaru.
“Apa salahnya saya mengawal suara rakyat? Apakah memantau dan melaporkan ketidakberesan pemilu itu kejahatan?” imbuhnya.
Syarifah menegaskan bahwa berbagai tekanan, termasuk upaya membungkam lewat pencabutan akreditasi LPRI, tak akan menyurutkan niatnya mencari keadilan.
“Insyaallah kami tidak akan mundur. Sekali maju, pantang menyerah melawan ketidakadilan,” tegasnya penuh haru.
Pengakuan emosional Syarifah mendapat perhatian dari hakim MK.
Hakim Arief Hidayat meminta tim kuasa hukum mencantumkan semua insiden tersebut sebagai bagian dari kronologi dan bukti intimidasi dalam sidang pembuktian mendatang.
Dia juga menegaskan agar Syarifah tidak perlu takut, karena sidang tersebut dilihat oleh dunia, tak hanya oleh rakyat Indonesia tetapi dipantau oleh dunia internasional.
Kedua perkara ini mencuat tak lama setelah MK sebelumnya mengabulkan sebagian permohonan LSM lain terkait Pilwalkot Banjarbaru, dan memerintahkan PSU dengan menghadirkan kolom kosong.
Dalam konteks itu, Syarifah dan tim hukumnya menilai pelaksanaan PSU pada 19 April 2025 telah cacat prosedur dan cacat etik.
Dengan dua perspektif ini, hukum dan kemanusiaan, gugatan PSU Banjarbaru diprediksi akan menjadi sorotan nasional dalam penegakan etik pemilu dan perlindungan terhadap pemantau independen.