‘Tahta’ Rektor UIN Antasari: Siapa Setelah Prof. Mujib?

Redaksi - Rabu, 30 Juli 2025 | 15:37 WIB

Post View : 413

ILUSTRASI: UIN Antasari menanti rektor baru, yang mampu melanjutkan kepemimpinan Prof Mujiburrahman. (BANUATERKINI @2025)

Setelah dua periode kepemimpinan Prof. Dr. Mujiburrahman, M.A., Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin kini memasuki babak baru dalam menentukan nahkoda akademiknya. Tujuh nama resmi diumumkan oleh Panitia Penjaringan Bakal Calon Rektor untuk masa jabatan 2025–2029 pada Selasa (29/07/2025).

Banuaterkini.com, BANJARMASIN - Deretan akademisi bergelar profesor itu membawa latar belakang beragam, baik yang berbasis hukum Islam hingga teknologi pendidikan, dari tafsir hingga hak asasi manusia.

Namun di balik daftar nama yang tertulis kaku dalam dokumen resmi, ada jejak panjang perjalanan intelektual dan humanisme yang layak dikupas. 

Pasca Mujib, Warisan Moderasi dan Tantangan Baru

Selama sepuluh tahun terakhir, UIN Antasari yang "dinakhodai" Prof Mujiburrahman menjelma sebagai salah satu perguruan tinggi Islam yang konsisten membangun wajah moderat Islam Indonesia dari pinggiran Kalimantan.

Prof. Mujib, biasa dia disapa, dikenal luas sebagai figur pemikir progresif, dengan gagasan keislaman berbasis pluralisme dan demokrasi.

Pertanyaan besar kini muncul, siapa yang mampu melanjutkan, bahkan melampaui jejak itu? 

Menurut Ketua Panitia Penjaringan Rektor, Dr. Rijalul Faqih, proses seleksi dilakukan secara objektif dan profesional.

"Kami melakukan verifikasi terhadap seluruh berkas para bakal calon, termasuk syarat administrasi, jenjang akademik, dan rekam jejak tridarma perguruan tinggi. Hanya yang memenuhi semua unsur yang bisa lolos," ujarnya, seperti dikutip dari Banjarmasin Post, (29/07/2025).

Nama-nama yang diumumkan secara alfabetis mencerminkan kompetisi ketat yang terjadi di balik layar institusi akademik. 

Tujuh Nama, Tujuh Narasi

Di antara tujuh nama yang telah lolos verifikasi sebagai calon Rektor UIN Antasari, masing-masing membawa warna dan kekuatan tersendiri dalam bidang keilmuan maupun pengalaman institusional.

Prof. Dr. H. Abdul Helim, S.Ag., M.Ag yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UIN Palangka Raya, dikenal luas sebagai pemikir maqāṣid al-syarī’ah (nilai-nilai dan tujuan utama yang ingin dicapai oleh syariat Islam). 

Gagasannya tajam namun tetap membumi, dengan rekam jejak akademik yang terjaga dan produktif.

Sementara itu, Prof. Dr. H. Ahmad Khairuddin, M.Ag, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, adalah sosok yang mengakar dalam jaringan keislaman nasional.

Kelebihannya terletak pada kemampuan menjalin komunikasi lintas organisasi dan mengelola dinamika sosial keagamaan dengan cermat.

Dari internal UIN Antasari, ada Prof. Dr. Ani Cahyadi, S.Ag., M.Pd, tampil dengan spesialisasi unik di bidang teknologi pendidikan.

Ia menjadi pionir dalam transformasi digital pembelajaran berbasis karakter, sebuah tantangan kontemporer yang semakin relevan di era disrupsi.

Kontribusi di bidang keadilan sosial dan penguatan nilai-nilai kebangsaan datang dari Prof. Dr. H. Jalaluddin, M.Hum. dan Prof. Dr. M. Tahir, S.Ag., M.M.

Keduanya mewakili pendekatan akademik yang bersentuhan langsung dengan isu-isu publik, mulai dari hak asasi manusia hingga dakwah kemasyarakatan.

Di sisi lain, Prof. Dr. Hj. Nida Mufidah, M.Pd. yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Akademik, membawa pengalaman panjang dalam tata kelola kampus.

Ia dikenal sebagai administrator yang rapi, disiplin, dan konsisten dalam mendukung sistem akademik berbasis mutu. 

Namun, di antara seluruh nama itu, muncul satu figur yang disebut-sebut secara halus namun konsisten oleh banyak kalangan sebagai "kuda hitam dengan reputasi jangka panjang." Dialah Prof. Dr. H. Wardani, S.Ag., M.Ag,  seorang intelektual sunyi yang membangun jejaknya perlahan namun dalam. Wardani bukan sekadar akademisi, melainkan pembelajar sejati yang telah lama meletakkan fondasi intelektualnya dengan kokoh sejak masa muda.

Wardani, Dari MAPK ke Menara Tafsir

Wardani adalah alumni MAPK generasi pertama, sebuah sekolah elit berbasis agama yang berasal dari MTsN (sekolah menengah tingkat pertama), yang didirikan untuk mencetak santri intelektual pada akhir 1990-an.

Sejak remaja, ia telah dikenal sebagai penghafal teks dan pemilik ingatan tajam terhadap referensi pelajaran baik dalam bahasa Indonesia, Arab, maupun Inggris.

Setelah menamatkan studinya di Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari (kini: UIN Antasari) dengan nilai sempurna, ia terus mengembangkan karier akademiknya.

Tak berhenti belajar dan mengejar mimpi intelektualitasnya, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang master di UIN Sunan Kalijaga dan gelar doktor ilmu tafsir di UIN Sunan Ampel, Semarang. 

Penelusuran media ini, Prof Wardani juga tercatat pernah mengikuti program post doctoral di Jerman dan Program PSQ pendidkan Mufassir di Mesir.

Saat ini, ia adalah Guru Besar Tafsir di UIN Antasari, pengajar aktif di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, dan penulis 10 buku serta puluhan artikel ilmiah. Tak banyak bicara, tapi dikenal berkualitas." 

Testimoni dan Pengakuan Senyap

Namun, di tengah kompetisi yang cukup ketat ini, banyak suara senyap namun konsisten menyebut Prof. Dr. H. Wardani, S.Ag., M.Ag sebagai figur yang patut diperhitungkan secara serius.

Ia dinilai sebagai "kuda hitam dengan reputasi jangka panjang" oleh sejumlah koleganya.

“Pak Wardani itu ibarat mata air di lereng sunyi. Tak mengalir deras, tapi menyuburkan dalam,” ujar seorang dosen senior dari Fakultas Ushuluddin yang enggan disebut namanya.

“Beliau tidak membawa massa, tapi membawa kelas. Dan itu lebih penting untuk menjaga marwah keilmuan kampus ini,” tambah seorang pimpinan jurusan yang juga meminta agar identitasnya dirahasiakan.

Bahkan beredar kabar bahwa dukungan moral dari Rektor saat ini, Prof. Mujib, secara implisit mengarah pada Prof Wardani.

Seorang sumber internal yang dekat dengan lingkaran pimpinan menyebutkan, meskipun "tidak pernah diumumkan terbuka, tapi sinyal itu terasa".

"Pak Mujib punya standar keilmuan yang tinggi. Dan dalam diamnya, beliau sangat menghormati Prof. Wardani,” ungkapnya.

Figur Wardani, dalam pandangan sebagian sivitas akademika, membawa simbol kontinuitas keilmuan yang tidak berisik tapi mengakar.

Ia bahkan dinilai cukup representatif meneruskan fondasi modernitas keilmuan di lingkungan IAIN yang dilakukan Prof Mujib.

“Ia tak pernah mencari panggung. Tapi kalau bicara integritas, penguasaan tafsir, dan kemampuan menulis dalam tiga bahasa, saya rasa tidak banyak yang bisa menandingi,” tutur seorang staf pustaka yang telah lama mengenalnya sejak menjadi dosen muda.

Semua ini menggambarkan bahwa Prof. Wardani bukan hanya seorang akademisi, tetapi juga simbol dari tradisi ilmu yang lahir dari ketekunan, bukan popularitas.

Wardani tercatat aktif mempublikasikan riset di bidang Tafsir, Filsafat Al-Qur’an, dan integrasi keilmuan Islam-kontemporer, di berbagai media termasuk jurnal internasional. Jejaknya dapat dilihat di Google Scholar. 

Menanti Suara Senat dan Arah Baru

Panitia menyebutkan bahwa sidang senat penetapan tiga besar akan digelar pada 6 Agustus 2025, disusul pengiriman nama ke Kementerian Agama.

"Kita semua berharap figur terbaik yang akan membawa UIN Antasari ke level yang lebih tinggi, tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar integritas dan keilmuan," ujar Rijalul Faqih, seperti dikutip dari Banjarmasin Post (29/07/2025).

Akademisi yang Memimpin, Bukan Sekadar Administrasi

Pemilihan rektor kali ini bukan semata soal suksesi, melainkan cerminan arah, apakah UIN Antasari akan terus berdiri sebagai mercusuar intelektual Islam Nusantara yang kokoh dan terbuka, atau perlahan tenggelam menjadi sekadar kampus administratif yang kehilangan daya ilham.

Di tengah kontestasi yang berjalan rapi dan beradab, ada satu figur yang tidak perlu memoles pencitraan, tidak perlu memadati ruang publik dengan janji.

Prof. Wardani, dalam ketenangannya, justru mencerminkan keutuhan figur akademik yang dibutuhkan UIN Antasari hari ini.

Ia bukan hanya mewarisi kekuatan tafsir dan tradisi ilmiah klasik, tetapi juga menunjukkan konsistensi integritas intelektual yang senapas dengan arah kampus di bawah Prof. Mujiburrahman.

Jika Prof. Mujib membangun fondasi epistemologis moderasi dan integrasi keilmuan, maka Prof. Wardani adalah penguatnya, figura yang tak hanya memahami visi, tapi lahir dari nilai-nilai itu sendiri.

"Ia tidak membelok dari arah, tidak pula memutar kompas untuk sekadar menang. Yang ia bawa adalah kesetiaan kepada ilmu dan keberpihakan kepada peradaban akademik," ujar seorang anggota senat universitas dalam diskusi informal pasca pengumuman calon.

Dalam lanskap UIN Antasari yang terus tumbuh dalam pengakuan nasional dan global, keberlanjutan tidak cukup dipegang oleh figur kuat secara administratif.

Kampus ini memerlukan sosok yang bisa menjadi titik temu antara khazanah klasik dan tantangan masa depan, antara keheningan ilmiah dan kebijakan strategis.

Dan dalam bayang terang itulah, nama Prof. Wardani berdiri paling proporsional, bukan karena retorika, tetapi karena reputasi. 

Laporan: Ariel Subarkah
Editor: MS Shiddiq
Copyright @Banuaterkini 2025

Halaman:
Baca Juga :  Kebijakan Penjurusan SMA Dikritik, DPR Minta Kajian Serius

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev