Di tengah riuhnya prestasi olahraga nasional, nama Abdi Suryani muncul sebagai sosok yang tak biasa. Mahasiswa semester empat Agribisnis Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan (UNUKASE) ini bukan hanya mewakili daerahnya dalam cabang olahraga menembak, tetapi juga menjadi simbol keteguhan hati dan keberanian melampaui batas.
Banuaterkini.com, BANJARBARU - Abdi bukan atlet biasa. Ia lahir dan tumbuh dalam kondisi yang sulit, baik secara ekonomi maupun fisik.
Pada usia satu tahun, nasib buruk menghampirinya. Saat sedang digendong menggunakan jarik di atas sepeda motor, kain tersebut terlilit rantai roda hingga menyebabkan luka parah yang mengharuskannya kehilangan tangan kirinya.
Namun tragedi itu tidak mematikan semangat hidupnya. Abdi kecil tumbuh sebagai anak yang ceria dan pantang menyerah.
Ujian hidup kembali datang saat ia duduk di bangku kelas 4 SD, ketika sang ibu, Sumarni, meninggal dunia.
Sejak saat itu, ia dibesarkan oleh tantenya sementara sang ayah, Supeno, bekerja keras sebagai sopir truk sawit demi kelangsungan hidup keluarga.
Beranjak remaja, Abdi menjadi tulang punggung bagi dirinya sendiri.
Saat sekolah di SMKS Kodeco jurusan Otomotif, ia juga bekerja borongan di bengkel motor. Namun titik balik hidupnya datang saat ia mengenal olahraga menembak di kelas XI.
Dari sanalah jalan menuju prestasi terbuka. Tahun 2022, ia meraih juara pertama di ajang Pekan Paralympic Provinsi (Peparprov) IV Kalimantan Selatan di Hulu Sungai Selatan. Tapi puncaknya terjadi di Peparnas XVII Solo 2024. Pada ajang itu, Abdi meraih medali perak dalam nomor R4 – 10 meter Air Rifle Standing Mixed SH-2. Ia hanya terpaut 0,9 poin dari atlet elit asal Papua, Affni Ramadhan.
Laga final yang digelar di Harris Hotel Solo menjadi momen emosional sekaligus bersejarah dalam perjalanan karier olahraganya. Satu tangan, satu senapan, satu fokus, dan sebuah mimpi yang berhasil diraih.
Di sela jadwal latihannya di NPC Archery Training Center Banjarbaru, Abdi mendapat kunjungan dukungan dari Rektor UNUKASE, Dr Abrani Sulaiman.
“Keterbatasan bukan penghalang. Abdi telah menunjukkan bahwa ketekunan dan semangat mampu mengalahkan semua tantangan,” ujar Abrani, sang rektor.
Pelatih Abdi, Gina Faritha, pun tak bisa menyembunyikan rasa bangganya.
“Meski sempat kehilangan fokus, Abdi tetap tampil luar biasa. Kami optimis dia bisa menembus level dunia,” ujarnya yakin.
Keberhasilan Abdi seolah menjadi lonceng kebangkitan olahraga difabel Kalimantan Selatan. Tiga atlet lain, Mahyudi, Mulyani, dan Jannah, juga menyumbang medali perak dalam Seleknas.
Ketua NPCI Kalimantan Selatan, Sumansyah, menyebut keberhasilan ini sebagai momentum emas.
“Kita buktikan bahwa Kalimantan Selatan punya potensi besar. Semoga ke depan makin banyak atlet kita yang menembus Pelatnas dan pentas dunia,” katanya penuh harap.
Tak hanya itu, dua atlet muda Kalimantan Selatan, Udri dan Nor Nazwa, bahkan telah mengharumkan nama Indonesia dengan meraih medali emas pada World Abilitysport Games di Songkhla, Thailand.
Abdi Suryani adalah kisah yang mengajarkan bahwa keterbatasan bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari perjalanan luar biasa.
Di tengah keterbatasan fisik, tekanan hidup, dan minimnya fasilitas, ia terus membidik mimpi, dan tepat mengenai sasaran.