Home » Opini

Yasin Kecil, Bacaan Kalam Mulia di Antara Aksara Arab dan Tulisan Latin

Redaksi - Selasa, 7 Oktober 2025 | 18:18 WIB

Post View : 9

Dua versi pedoman transliterasi huruf Arab–Latin dari buku Yasin kecil terbitan Putra Bahari Surabaya dan Haris Putra Media Solo, menunjukkan variasi sistem alih aksara di masyarakat. (BANUATERKINI/Berbagai Sumber)

Di tangan banyak keluarga Muslim Indonesia, buku Yasin kecil bukan sekadar bacaan doa. Ia menyimpan jejak budaya, bahasa, dan spiritualitas yang saling bertaut dalam lembar-lembar tipisnya. Dari aksara Arab hingga huruf Latin, dari doa tahlil hingga pedoman transliterasi, buku mungil ini mencerminkan dinamika iman dan literasi umat yang terus tumbuh seiring zaman. Artikel ini mencoba menelusuri makna di balik kesederhanaannya, tentang bagaimana umat berusaha menjaga kedekatan dengan kalam mulia, meski melalui aksara yang berbeda. 

Oleh: Faisal Syarifuddin  *)

Buku Yasin merupakan bacaan keagamaan yang sangat akrab di kalangan umat Islam Indonesia. Ia sering hadir di berbagai momen religius, mulai dari tahlilan dan hajatan, hingga peringatan wafat seperti 40 hari, 100 hari, bahkan seribu hari.

Tidak jarang, buku Yasin berukuran kecil menjadi buah tangan keluarga almarhum untuk kerabat, tetangga, dan sahabat. Pemberian sederhana itu menyimpan makna yang dalam: sebuah ungkapan terima kasih dan kenangan bagi mereka yang telah berbagi doa di masa duka.

Namun, buku Yasin tidak hanya berfungsi sebagai bacaan atau simbol penghormatan. Ia juga menjadi pengingat spiritual yang menghubungkan yang hidup dan yang telah tiada.

Di tangan penulis, dua eksemplar Yasin kecil kini menjadi bahan perbandingan menarik: satu terbitan Haris Putra Media, Solo, dan satu lagi dari Putra Bahari, Surabaya. Keduanya berukuran sama, 15 x 12 sentimeter dengan tebal 128 halaman, namun masing-masing mencerminkan cara penyusun dan penerbitnya menafsirkan “kemudahan dalam membaca Kalamullah”.

Edisi Solo disusun oleh Chanif Sa’dullah, sementara edisi Surabaya oleh Abdul Malik. Keduanya tidak hanya memuat surah Yasin, tetapi juga surah pendek seperti al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas. Bahkan, edisi Surabaya menambahkan surah ar-Rahman, al-Waqi’ah, dan al-Mulk, yang tidak ditemukan dalam versi Solo. Di dalamnya juga terselip bacaan tahlil, doa-doa, salawat, serta asmaul husna. Struktur yang kaya ini menjadikan buku Yasin mini bukan sekadar bacaan ritual, melainkan kompendium zikir praktis bagi masyarakat.

Menariknya, kedua penerbit mencantumkan pedoman transliterasi—alih aksara Arab ke Latin—meskipun dengan istilah berbeda. Penerbit Solo menulisnya sebagai Transliterasi, sedangkan Putra Bahari menyebutnya Daftar Transkripsi. Perbedaan istilah itu kecil, tetapi maknanya penting: sebuah upaya membantu mereka yang belum mahir membaca huruf Arab agar tetap dapat melafalkan ayat-ayat suci dengan benar.

Namun di sinilah persoalan muncul. Tidak semua huruf Arab memiliki padanan sempurna dalam alfabet Latin. Huruf seperti ب, ت, ج, dan د mudah dialihkan menjadi b, t, j, dan d. Tapi huruf seperti ث, ذ, dan ش memerlukan simbol khusus, sebab tidak ada bunyi serupa dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Perbedaan ini menimbulkan variasi penulisan yang terkadang membingungkan pembaca awam.

Fenomena itu semakin relevan bila dikaitkan dengan realitas literasi baca al-Qur’an di Indonesia. Berdasarkan survei Kementerian Agama tahun 2023 terhadap lebih dari 10 ribu responden, sebanyak 38,49 persen masyarakat belum memiliki kemampuan baca al-Qur’an.

Dari yang mampu mengenali huruf Arab, hanya 44,57 persen yang benar-benar bisa membaca sesuai tajwid. Angka ini menunjukkan bahwa transliterasi bukan sekadar alat bantu, melainkan jembatan penting bagi sebagian besar umat untuk berinteraksi dengan wahyu Ilahi.

Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, transliterasi belum sepenuhnya seragam. Ada yang menulis huruf ذ dengan “dz”, ada pula dengan “dh”. Huruf ح dan ه kerap sama-sama ditulis “h”, sehingga pelafalan bisa keliru. Bahkan, perdebatan ringan seperti bagaimana menulis “ان شاء الله”—apakah “Insya Allah”, “Insha Allah”, atau “In sya Allah”—menjadi contoh kecil dari kompleksitas transliterasi di masyarakat.

Lebih jauh, tidak semua buku Yasin memberikan panduan transliterasi yang lengkap. Beberapa penerbit melewatkannya, sementara yang lain hanya mencantumkan daftar huruf tanpa penjelasan tambahan seperti maddah (vokal panjang), ta’ marbūṭah, atau aturan tajwid.

Buku dari Solo dan Surabaya, misalnya, hanya menyajikan daftar ringkas tanpa panduan vokal atau pelafalan panjang-pendek yang memadai. Akibatnya, pembaca pemula berisiko membaca ayat secara tidak tepat.

Menyadari kebutuhan akan standar yang seragam, pemerintah melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin (SKB) sejak 1987. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an juga memperkuatnya dengan Pedoman Tajwid Transliterasi (2007) dan Pedoman Tajwid Sistem Warna (2011). Ketiga pedoman ini menjadi rujukan baku yang diakui secara nasional.

Jika dibandingkan, pedoman pemerintah jauh lebih rinci dibandingkan versi mini pada buku Yasin. Misalnya, huruf ذ, ث, dan ص dalam SKB 1987 ditulis sebagai ż, ṡ, dan ṣ—lengkap dengan tanda titik di atas atau di bawah huruf—sementara versi Yasin kecil cukup menggunakan dz, ts, dan sh.

Untuk huruf ح, SKB menambahkan titik di bawah (ḥ), sedangkan dalam Yasin kecil tetap ditulis “h” tanpa pembeda. Dalam hal vokal panjang, SKB menggunakan tanda garis di atas huruf (ā, ī, ū), sementara versi masyarakat menuliskannya ganda (aa, ii, uu). Perbedaan kecil, tetapi berdampak besar bagi akurasi pelafalan.

Namun demikian, kesederhanaan transliterasi versi Yasin kecil juga memiliki sisi positif. Ia mudah dipahami, tidak memerlukan karakter khusus, dan dapat dicetak dengan perangkat sederhana. Sebaliknya, standar SKB 1987 lebih ideal bagi pendidikan formal atau publikasi ilmiah yang menuntut ketelitian akademik.

Pada akhirnya, kedua sistem ini lahir dari niat yang sama, yaitu memudahkan umat Islam membaca kalam mulia. Pedoman pemerintah memberikan kerangka ilmiah dan ketepatan linguistik, sementara versi penerbit rakyat menawarkan kepraktisan dan keterjangkauan. Akan jauh lebih baik bila keduanya dipandang saling melengkapi, bukan saling bertentangan.

Maka, di antara aksara Arab dan tulisan Latin, Yasin kecil menjadi simbol jembatan spiritual: menghubungkan mereka yang berusaha memahami firman Allah, apa pun tingkat kemampuannya. Sebuah ikhtiar kecil untuk mendekatkan diri pada kalam yang tak lekang oleh zaman. Wallāhu a‘lam.

*) Faisal Syarifudin, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Halaman:
Baca Juga :  Rekening Diblokir, Ujian Kepercayaan Publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev