Di balik sunyi dan khidmatnya Masjid Sultan Suriansyah, tersimpan pelajaran matematika yang tak terduga. Masjid yang dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Suriansyah, raja pertama Kesultanan Banjar yang memeluk Islam, ternyata menyimpan khazanah geometris dan simbolik yang kaya.
Banuaterkini.com, BANJARMASIN - Tak heran jika sekelompok mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Matematika (PMTK) Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan (UNUKASE) menjadikan masjid ini sebagai laboratorium budaya dalam eksplorasi etnomatematika.
Dibersamai dosen pendamping Azis Muslim yang juga Ketua Prodi PMTK, para mahasiswa menelusuri setiap detail bangunan yang sarat nilai matematika.
Kegiatan ini bukan sekadar studi lapangan biasa, melainkan bagian dari pendekatan pembelajaran kontekstual berbasis budaya lokal yang kini mulai digiatkan oleh LPPM UNUKASE.
Mereka tak hanya mengamati bentuk, tapi juga membaca makna di balik setiap struktur.
Masjid Sultan Suriansyah berdiri megah di atas struktur rumah panggung khas Banjar, lengkap dengan atap limas tiga susun yang disebut tumpang talu.
Secara arsitektural, bentuk ini mencerminkan prinsip simetri bertingkat, tiered symmetry, yang tak hanya indah dipandang, tapi juga mencerminkan keteraturan matematis.
Dalam pengamatan mahasiswa, bentuk-bentuk geometris muncul nyaris di setiap sisi bangunan: ornamen, jendela, hingga lantai.
Pilar dan dinding masjid dihiasi ukiran motif manggis yang menyerupai bentuk bola dan setengah bola. Namun, maknanya lebih dalam dari sekadar bentuk.
Kulit manggis yang gelap di luar namun putih bersih di dalam menjadi simbol keislaman dan spiritualitas masyarakat Banjar, yaitu kebaikan sejati datang dari dalam, bukan dari tampilan luar.
“Salah satu yang menarik bagi saya adalah ukiran kaligrafi berbentuk belah ketupat. Setelah kami kaji, itu menggambarkan gagatas, salah satu bentuk wadai khas Banjar. Bentuknya simetris, ada unsur geometri datar, tapi juga sangat kental nilai budayanya,” ujar Selvi Rezeki Ariyanti, mahasiswa PMTK UNUKASE yang ikut dalam kegiatan tersebut.
Ia menambahkan, pengalaman belajar di masjid memberinya sudut pandang baru terhadap matematika.
“Kami melihat langsung bagaimana konsep matematika hidup di tengah budaya. Ada bilangan ganjil dalam jumlah jendela dan tiang, pola lengkung pada mihrab, hingga tessellation atau pengulangan bentuk pada lantai,” lanjutnya.
Tidak berhenti di situ, riset ini juga menggugah pemahaman mahasiswa bahwa matematika bukan hanya kumpulan rumus di papan tulis.
Justru dalam warisan budaya seperti masjid, konsep-konsep matematis menjadi nyata, hidup, dan relevan. Ini adalah wajah lain dari matematika, menyatu dalam seni, bentuk, dan spiritualitas.
Kegiatan ini menunjukkan bagaimana pendekatan etnomatematika dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal.
Masjid, sebagai pusat peradaban dan budaya Islam, menyimpan pesan ilmiah yang tak lekang waktu.
Dengan menggali warisan seperti Masjid Sultan Suriansyah, mahasiswa tidak hanya belajar matematika, tapi juga memahami akar budaya dan sejarah bangsa.
Masjid Sultan Suriansyah kini bukan sekadar situs religi, tapi juga ruang belajar yang penuh inspirasi.
Di tepi Sungai Kuin, di antara tiang-tiang kayu dan ukiran yang abadi, para mahasiswa menemukan bahwa sains dan spiritualitas bisa berpadu harmonis, membentuk narasi baru dalam pendidikan kontekstual yang lebih bermakna.