Home » Opini

Hijrah: Menjemput Makna, Bukan Seremoninya

Redaksi - Jumat, 27 Juni 2025 | 05:34 WIB

Post View : 16

ILUSTRASI: Peringatan Tahun Baru Islam bukan pesta obor dan arak-arakan, tapi momen untuk melakukan pencerahan. (BANUATERKINI @2025)

“Hijrah adalah proses membangun peradaban, bukan hanya berpindah tempat.” — (Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas)

Oleh: M. S. Shiddiq *)

TAHUN BARU Islam 1 Muharram 1447 H yang jatuh pada tanggal 27 Juni 2025, kembali mengingatkan kita pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, sebuah momentum historis yang bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan transformasi sosial, politik, dan spiritual menuju masyarakat madani.

Namun di era kini, khususnya di Kalimantan Selatan dan Indonesia pada umumnya, perayaan Tahun Baru Islam kerap terjebak pada simbolisme semata: sekadar pawai obor, lomba-lomba islami, dan gegap gempita seremonial.

Nilai hakiki hijrah sebagai landasan peradaban, yakni keberanian untuk berubah, memperbaiki diri, dan membangun tatanan sosial yang lebih adil, kian sayup dalam ingatan kolektif umat.

Kalimantan Selatan, provinsi yang dikenal dengan kekentalan Islam dan budaya banjarnya, menyimpan potensi besar untuk menjadikan momentum hijrah sebagai penggerak perubahan.

Dengan tantangan kontemporer seperti krisis lingkungan akibat eksploitasi tambang, urbanisasi yang tak terkendali, hingga disrupsi nilai akibat derasnya arus digitalisasi, kita membutuhkan spirit hijrah dalam makna terdalamnya: tajdid atau pembaruan.

Hijrah hari ini bukan lagi berpindah tempat, tapi berpindah sikap. Dari pembiaran menuju kepedulian. Dari pasif menjadi partisipatif. Dari konsumtif menuju produktif.

Generasi muda Banua, yang kini lebih akrab dengan tren global ketimbang nilai lokal, perlu disapa kembali dengan narasi hijrah yang membumi—bukan hanya dalam ceramah, tapi dalam aksi nyata.

Kita butuh hijrah ekologis: meninggalkan pola pikir eksploitasi menuju pelestarian alam, terutama di daerah yang terancam rusak seperti kawasan hulu Sungai Barito hingga kawasan Pegunungan Meratus. 

Kita butuh hijrah sosial: meninggalkan budaya individualistik menuju gotong royong, agar ketimpangan dan kemiskinan struktural tak dibiarkan menjadi norma. Kita juga perlu hijrah digital: dari sekadar menjadi konsumen konten ke produsen narasi positif, dari kebisingan informasi menuju kearifan digital.

Di tengah konflik global yang mengoyak kemanusiaan, dari Gaza hingga Sudan dan sejumlah belahan dunia Islam lainnya, peringatan hijrah menjadi pengingat bahwa Islam bukan hanya agama spiritual, tapi juga peradaban yang berpihak pada keadilan dan kemuliaan martabat manusia.

Momentum Tahun Baru Islam 1447 H ini seharusnya menyentuh ranah kebijakan. Pemerintah daerah, tokoh agama, dan elemen masyarakat sipil perlu duduk bersama, menjadikan Muharram sebagai bulan refleksi sosial dan evaluasi pembangunan.

Perayaan yang ideal bukan yang ramai seremonial, tetapi yang kuat pada substansi. Kita tak butuh banyak obor, tapi butuh banyak pencerahan.

Hijrah adalah panggilan untuk berubah, dan perubahan tak lahir dari keramaian, tapi dari kesadaran.

*) MS Shiddiq, Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com, Peneliti dan Penikmat Komunikasi Politik.

Halaman:
Baca Juga :  Guru Sekumpul, Kharisma yang Tak Pernah Padam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev