Suasana di Jalan Lambung Mangkurat pada 1 September kemarin terasa berbeda. Ribuan massa—mahasiswa, komunitas ojol, buruh, dan masyarakat sipil—berdiri tegak di bawah terik matahari, menatap gedung DPRD Kalimantan Selatan dengan wajah serius, penuh semangat, sekaligus waspada.
Oleh: MS Shiddiq *)
Di balik teriakan dan spanduk tuntutan, terselip sebuah bayangan yang menghantui: kabar penyusupan, isu provokasi, ancaman sniper, hingga tudingan bom molotov.
Sebuah rangkaian narasi ketakutan yang lebih menyerupai psikologis war (psikwar) ketimbang informasi murni keamanan.
Sejak 29 Agustus 2025, ketika persiapan aksi diumumkan, publik di Kalsel digempur oleh beragam pesan yang meresahkan.
Polda Kalsel melalui Humas resmi memperingatkan adanya potensi penyusup dan provokator.
Tak lama, di media sosial beredar video yang menampilkan sejumlah pemuda disebut-sebut telah menyiapkan batu dan bom molotov.
Di waktu yang hampir bersamaan, pesan berantai, jika itu benar merupakan pesan dari kalangan intel, menyebut bahwa aparat telah menyiapkan sniper di titik strategis sekitar DPRD Kalsel.
Isu ini menyebar cepat, bahkan lebih cepat daripada selebaran ajakan aksi. Ketakutan pun menjalar ke ruang-ruang keluarga, ruang kelas, hingga toko-toko di pusat kota.
Dinas Pendidikan dan sejumlah sekolah swasta memilih meliburkan siswa. Pedagang di pusat perbelanjaan sekitar Lambung Mangkurat menutup pintu lebih awal.
Kota seolah menahan napas, menunggu apakah esok akan terjadi ledakan anarki atau justru kelahiran solidaritas.
Alih-alih mundur, mahasiswa justru menjawab tantangan psikwar dengan disiplin.
Aliansi BEM se-Kalsel membentuk tim keamanan internal. Setiap peserta aksi diperiksa ketat: kartu identitas, barang bawaan, bahkan ransel yang mencurigakan. Barang terlarang, senjata tajam, apalagi molotov, ditolak keras.
“Kami tak mau aksi ini dicederai oknum,” kata Rizki, salah satu koordinator BEM.
Ketegangan yang sempat dipicu isu anarkis berbalik menjadi momentum konsolidasi.
Mahasiswa belajar bahwa menjaga narasi aksi sama pentingnya dengan menjaga barisan. Mereka paham: psikwar hanya bisa dilawan dengan keteraturan, transparansi, dan kepercayaan.
Menurut salah seorang koordinator aksi, yang juga Presiden BEM Universitas Islam Kalimantan, Muhammad Anzari, kewaspadaan pihaknya cukup tinggi, menyusul di beberapa daerah terjadi kerusuhan dan penjarahan termasuk pembakaran gedung DPRD dan bangunan lainnya.
"Jadi, kami melakukan antisipasi dengan screening internal," ujar pria yang akrab disapa Aan ini.
Pada hari H, ribuan massa bergerak. Jalan Lambung Mangkurat yang biasanya padat kendaraan berubah jadi lautan manusia.
Suara orasi bergantian dengan teriakan takbir dan yel-yel perlawanan.
Di tengah itu, wajah-wajah aparat tampak tegang namun terukur. Polisi dan TNI berjaga ketat, water cannon siaga, tetapi tak ada peluru yang dimuntahkan.
Ketika massa tiba di depan DPRD, eskalasi emosi meningkat tajam saat mengetahui Ketua DPRD Kalsel, Supian HK belum ada di lokasi.
Tapi, sebuah momen mencairkan suasana. Ketua DPRD Kalsel, Supian HK, dengan pengawalan ketat aparat TNI dan Polri, keluar menemui mahasiswa.
Ia mendengarkan tuntutan, menandatangani pernyataan, bahkan dengan lantang mengatakan: “Kalau aspirasi ini tak diteruskan ke pusat, saya siap mundur. Saya bukan tukang pos.” Sebuah kalimat yang, meski sederhana, menandai adanya titik temu: dialog masih mungkin, bahkan di tengah kepungan ketakutan.
Di luar panggung utama, suara publik juga bersahutan, menjadi gema yang tak kalah penting dari orasi mahasiswa di depan DPRD.
Guru Ijai, ulama karismatik Banua yang telah wafat namun ajarannya masih lekat di hati masyarakat, kembali hadir melalui pesan-pesan bijaknya.
Video-video pendek berisi rekaman suara dan potongan ceramahnya yang menekankan ketenangan, doa, dan menolak kekerasan beredar luas di media sosial.
Potongan itu muncul di status WhatsApp warga, dibagikan di grup keluarga, hingga ditayangkan kembali oleh akun komunitas di Instagram.
Pesan menyejukkan itu menjadi semacam “penangkal” dari kabar sniper dan bom molotov yang sempat mencekam.
Banyak warga mengaku lebih tenang setelah mendengarnya.
“Kalau Guru Ijai mengingatkan kita untuk jangan terprovokasi, kami yakin anak-anak Banua tahu batasnya,” ucap seorang warga Pasar Lama yang enggan disebut namanya.
Sementara itu, para orang tua yang melepas anak-anaknya ikut aksi menghadapi dilema. Di satu sisi ada rasa bangga karena keberanian generasi muda; di sisi lain ada ketakutan karena derasnya isu-isu provokasi.
Niliyanor Agustina, seorang ibu rumah tangga yang juga seorang Kepala PAUD di Banjarmasin Tengah, mengaku tak bisa tidur nyenyak sehari sebelum aksi.
Ia meminta sejumlah PAUD di wilayahnya untuk libur. Meskipun ia tetap merelakan anaknya turun ke jalan.
“Saya bilang ke dia: jangan anarkis, tapi jangan diam. Kalau diam, kalian hanya mewarisi ketakutan kami. Tapi kalau kalian turun dengan damai, kami orang tua juga ikut terhormat,” ujarnya.
Keresahan juga dirasakan oleh para pedagang. Kawasan Pasar Niaga, yang biasanya hiruk pikuk oleh transaksi, pagi itu terasa lengang.
Sebagian memilih menutup toko, khawatir menjadi korban jika aksi berujung ricuh. Namun setelah aksi selesai, ada nada lega.
Noor Ifansyah, salah seorang pedagang sepeda dan asesorisnya ini, mengaku awalnya menutup kios karena takut.
“Kami takut, tapi nyatanya aksi damai. Yang menakutkan justru kabarnya, bukan kenyataannya. Malah banyak pembeli datang sore hari setelah tahu kondisi aman. Jadi kami bersyukur, ternyata tidak seperti yang digembar-gemborkan,” ujarnya.
Kisah dari Guru Ijai, Niliyanor, hingga Noor Ifansyah menunjukkan bahwa aksi ini bukan hanya milik mahasiswa atau politisi.
Ada denyut rasa di tengah masyarakat: ketakutan, harapan, doa, dan kelegaan. Semuanya membentuk narasi yang lebih luas, bahwa aksi rakyat bukan hanya teriakan di jalan, tetapi juga gema di rumah, di pasar, dan di ruang-ruang hati warga Banua.
Kapolda Kalsel dalam keterangannya menyampaikan apresiasi. Ia menilai aksi berlangsung tertib, damai, dan beradab.
“Kami berterima kasih kepada adik-adik mahasiswa, para buruh, serta masyarakat Kalsel. Aksi hari ini menjadi contoh bahwa menyampaikan aspirasi tidak harus dengan kekerasan. Semua berjalan sesuai koridor hukum dan tetap menjaga keamanan bersama,” ujarnya.
Pernyataan itu menjadi kontras dengan ketegangan sebelum aksi.
Jika sebelumnya publik dijejali narasi ancaman dan penyusupan, maka sesudahnya justru aparat mengakui kedewasaan massa.
Sebuah pengakuan bahwa demokrasi bisa hidup tanpa harus dicederai stigma anarki.
Rangkaian kabar menakutkan—penyusup, molotov, sniper—pada akhirnya tidak terbukti dalam aksi di Kalsel.
Yang hadir bukanlah ledakan anarki, melainkan doa dan selawat di penghujung demonstrasi. Dari sini terlihat, psikwar tak berhasil membungkam perlawanan.
Justru, ia menumbuhkan kesadaran baru bahwa demokrasi harus dirawat dengan kedisiplinan kolektif.
Bagi mahasiswa, ini pelajaran: ketika kekuasaan berusaha mengendalikan narasi dengan ketakutan, jawabannya bukan melarikan diri, melainkan menggandakan kewaspadaan.
Aksi Kalsel tak berdiri sendiri. Di Jakarta, BEM SI justru membatalkan aksi karena alasan keamanan.
Di Samarinda, isu bom molotov benar-benar terjadi dengan penangkapan sejumlah pemuda.
Di berbagai kota lain, demonstrasi berlangsung dengan dinamika masing-masing: ada yang ricuh, ada yang padat, ada pula yang sunyi.
Di tengah mosaik aksi nasional itu, Kalsel menorehkan catatan berbeda: diwarnai oleh gelombang psikwar, namun ditutup dengan pertemuan damai.
Dari Banua, lahir pelajaran bahwa ketakutan bisa dijinakkan, dan aspirasi tak bisa dibungkam.
Aksi “Rakyat Kalsel Melawan” kemarin bukan sekadar aksi di jalan, melainkan narasi panjang tentang bagaimana publik menghadapi kuasa psikologis yang menakut-nakuti.
Narasi ini tidak kandas di tengah hoaks sniper atau bom molotov, justru semakin lantang lewat orasi mahasiswa, respons DPRD, dan bahkan apresiasi aparat.
Karena pada akhirnya, di balik segala bayang-bayang, ada satu suara yang tak bisa dibungkam: suara rakyat.
*) MS Shiddiq, Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com