Sebuah pidato sederhana dari seorang pelajar sekolah menengah atas, Abiskar Raut, mendadak menjadi pemantik salah satu demonstrasi terbesar di Nepal dalam dua dekade terakhir.
Banuaterkini.com, NEPAL - Ucapan Raut yang menyinggung “korupsi, ketidakadilan, dan hilangnya harapan generasi muda” viral di media sosial dan memicu gelombang aksi turun ke jalan dari ribuan pemuda Gen Z.
Dikutip dari CNN Indonesia, dalam pidatonya, Raut menegaskan bahwa mimpi pembangunan Nepal kian tergerus oleh praktik nepotisme, ketidakadilan sosial, dan lemahnya keberpihakan pemerintah pada rakyat kecil.
Ia bahkan menyebutkan bahwa generasi muda “tak bisa lagi hanya diam menunggu perubahan”, melainkan harus mengambil sikap. Pidato ini menyebar cepat lewat TikTok, Instagram, hingga X (Twitter).
Sehari kemudian, ribuan mahasiswa dan pelajar memenuhi jalan-jalan di Kathmandu, Bharatpur, hingga Pokhara.
Aksi yang awalnya berlangsung damai menuntut transparansi pemerintahan dan reformasi menyeluruh, berkembang menjadi gelombang protes menuntut pengunduran diri pejabat tinggi, serta menolak sensor berlebihan atas media sosial.
Namun situasi memanas ketika aparat keamanan merespons dengan tindakan represif.
Bentrokan pecah di beberapa titik, mengakibatkan lebih dari 30 korban jiwa dan ratusan orang terluka.
Sejumlah fasilitas pemerintah dibakar, dan tentara diturunkan untuk menjaga fasilitas vital serta menekan massa demonstran.
Tekanan publik akhirnya memaksa Perdana Menteri K.P. Sharma Oli menyatakan pengunduran diri.
Pemerintah kemudian menunjuk Sushila Karki sebagai perdana menteri sementara untuk meredakan krisis dan membuka ruang dialog dengan perwakilan demonstran.
Keputusan itu dianggap sebagai kemenangan awal, meski demonstrasi masih berlangsung dengan tuntutan lebih luas.
Fenomena ini menunjukkan kekuatan generasi muda Nepal dalam memanfaatkan media sosial sebagai alat konsolidasi politik.
Kasus Abiskar Raut kini menjadi sorotan internasional, sekaligus peringatan bagi banyak negara, bahwa aspirasi generasi digital tidak bisa diremehkan, dan kontrol berlebihan justru bisa menjadi bahan bakar bagi perlawanan yang lebih besar.