Mantan Staf Kementerian BUMN, Said Didu, menegaskan penolakannya terhadap upaya mediasi dengan Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (APDESI) Kabupaten Tangerang terkait kasus hukum yang menjeratnya.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Said menyatakan bahwa kritiknya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2) adalah bentuk perjuangan membela hak-hak rakyat, bukan aksi permusuhan.
“Saya tidak merasa bermusuhan dengan APDESI. Yang saya perjuangkan adalah hak rakyat. Jadi, apa yang perlu dimediasi?” ujar Said Didu di Tangerang, Rabu (20/11/2024) seperti dikutip dari Kompastv.
Said Didu menekankan bahwa kritiknya terhadap PSN PIK-2 berlandaskan fakta, bukan hoaks atau ujaran kebencian seperti yang dituduhkan.
Menurutnya, upaya mediasi tidak diperlukan karena ia tidak memiliki konflik personal dengan pihak pelapor.
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, turut memberikan pandangannya terkait kasus ini.
Ia mengimbau aparat penegak hukum untuk menghentikan proses hukum terhadap tokoh-tokoh yang bersikap kritis terhadap pemerintah, termasuk Said Didu, untuk menjaga demokrasi tetap sehat.
“Sebisa mungkin, aparat penegak hukum menghentikan semua proses hukum atas laporan terhadap orang yang berbeda pendapat atau bahkan anti terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi membutuhkan ruang kritik dan toleransi atas perbedaan,” tegas Jimly dalam cuitannya di akun X pribadinya pada Kamis (21/11/2024).
Jimly juga menyoroti penggunaan pasal-pasal karet dalam menjerat tokoh kritis seperti Said Didu dan Refly Harun.
Menurutnya, langkah semacam ini dapat menciptakan persepsi bahwa pemerintah memanfaatkan hukum untuk membungkam kritik.
“Ini hanya akan merusak demokrasi yang membutuhkan sikap toleran atas segala perbedaan. Kritik adalah bagian penting dari proses demokrasi,” tambah Jimly.
Sebagai solusi, Jimly mengusulkan penerapan prinsip restorative justice untuk menangani kasus serupa. Ia menilai pendekatan ini lebih efektif dalam meredam konflik dan menjaga keadilan.
“Aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, perlu sungguh-sungguh menerapkan kebijakan restorative justice.
Pelapor dan terlapor bisa dipertemukan secara damai melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan,” jelasnya.
Kasus Said Didu menjadi sorotan publik sebagai ujian bagi demokrasi di Indonesia.
Jimly mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap kritik hanya akan melemahkan sistem demokrasi yang membutuhkan ruang untuk pandangan berbeda.
“Kritik yang disampaikan dengan baik adalah bagian dari upaya membangun bangsa. Demokrasi harus memberikan ruang untuk itu,” pungkas Jimly.
Dengan sikap tegas Said Didu yang menolak mediasi dan seruan Jimly untuk menghentikan kriminalisasi kritik, kasus ini mencerminkan pentingnya keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan penegakan hukum dalam menjaga demokrasi tetap sehat dan inklusif.