Ketika Tawa dan Kenangan Tak Pernah Usang

Redaksi - Senin, 28 April 2025 | 05:55 WIB

Post View : 142

Panitia Reuni Angkatan 1994 MAN 1 Banjarmasin berfoto bersama para guru. (BANUATERKINI/Sayri)

Saya berdiri sejenak di depan pintu Rumah Makan 5 Rasa Banjarmasin, mencoba menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Minggu pagi, 27 April 2025, udara terasa berbeda. Ada degup-degup kecil di dada, rasa rindu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Akhirnya, setelah 31 tahun, kami, alumni MAN 1 Banjarmasin angkatan 1994, kembali berkumpul. 

Oleh: MS Shiddiq *)

Langkah saya terasa ringan sekaligus berat. Ringan karena semangat bertemu teman-teman lama, berat karena sadar, waktu telah begitu jauh meninggalkan masa-masa putih abu-abu yang dulu begitu sederhana.

Reuni ini kami mulai dengan doa haul, mengenang sahabat-sahabat dan guru-guru tercinta yang telah mendahului kami.

Supriadi, sahabat kami yang aktif dalam kegiatan keagamaan, memimpin doa dengan penuh khidmat.

Saat nama-nama itu disebutkan satu per satu, suasana hening. Mata-mata yang semula ceria berubah berkaca-kaca.

Ada kenangan, ada kehilangan, dan ada rasa syukur, karena kami masih diberi kesempatan untuk bertemu di hari yang istimewa ini.

Tak lama kemudian, keheningan berubah menjadi ledakan tawa yang hangat. Seperti pintu kenangan yang dibuka selebar-lebarnya, satu per satu wajah-wajah itu kembali akrab.

Ada yang tersenyum lebar, ada yang tertawa terbahak sambil menunjuk perubahan fisik teman-temannya.

Rambut memutih, perut membuncit, rambut menipis, bahkan cara berjalan yang kini lebih pelan, semua menjadi bahan candaan tanpa sedikit pun mengurangi rasa sayang di antara kami.

"Rasanya seperti baru kemarin kita ramai-ramai bolos demi jajan di luar pagar sekolah," celetuk Mauizhatil Hasanah, disambut gelak tawa yang memenuhi ruangan.

Saya mendekat ke satu meja, lalu ke meja lain, bersalaman, berpelukan, menepuk punggung teman lama.

Tak ada rasa canggung, tak ada sekat. Seolah waktu tidak pernah benar-benar memisahkan kami.

Yang membuat reuni ini semakin spesial adalah kehadiran guru-guru kami yang dulu membentuk siapa kami hari ini. Ada Pak Hirsa Purwanto, Pak Misran Aryadi, Pak Fahmi, Pak Zaini Juhdi, Pak Haji Ahmad Roffii, Pak Rusmansyah, serta Ibu Hj Unaizah, Bu Hj Jamiah, Bu Maslahah,  dan Bu Wasilah.

Wajah mereka mungkin sudah dihiasi garis-garis usia, tapi ketulusan dan semangat mendidik yang dulu kami kenal tetap terpancar kuat.

Saya menghampiri mereka, menyalami satu per satu, menundukkan kepala dalam. Ada rasa haru yang sulit ditahan.

"Tanpa bimbingan dan keteladanan kalian, mungkin kami tidak akan menjadi seperti sekarang," batin saya, sambil menggenggam erat tangan mereka.

Kehadiran para guru membuat acara ini terasa begitu bermakna. 

Pak Rafii, misalnya, meski harus datang dengan menggunakan kursi roda, tetap berusaha hadir, menemui murid-muridnya yang kini telah menjadi bagian dari banyak perjalanan besar.

Pak Misran Aryadi pun datang, meski langkahnya sudah tidak setegap dulu.

Melihat semangat mereka, hati saya tergetar, mungkin bergitu juga yang dirasakan teman lainnya. Di balik tubuh-tubuh yang renta itu, tetap menyala semangat luar biasa untuk berbagi kasih dan kebanggaan kepada kami. 

Tak semua guru bisa hadir. Ibu Noor Ikhsan, salah seorang guru kami yang tengah berjuang melawan sakit, tetap mengirimkan salam hangat lewat rekan kami, Zulfakhriah.

Salam itu, meski sederhana, terasa begitu dalam, menegaskan betapa eratnya jalinan batin yang terbentuk di antara kami.

Pak Hirsa Purwanto, mewakili para guru, menyampaikan pesan sederhana namun begitu dalam.

"Silaturahmi adalah warisan yang harus terus dijaga." Pesan itu menggema dalam hati kami semua.

Kebahagiaan semakin lengkap dengan penampilan Madihin, seni pantun khas Banjar yang dibawakan Ahmad Sya’rani.

Pemadihan yang juga Kepala Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Kota Banjarmasin ini dalam pantun-pantunnya, menyentil kelucuan masa sekolah kami.

Dengan kalimat-kalimat jenaka ia mengupas segala kelakuan "nakal" kami; ketahuan menyontek, jatuh cinta diam-diam, hingga kisah "ngumpet" saat jam pelajaran olahraga, hingga bolos sekolah dengan berbagai alasan. 

Tawa pecah di seluruh ruangan, seolah kami kembali menjadi anak-anak belasan tahun yang penuh kenakalan manis.

Saidah dan Jamilah, dua sahabat kami, tampil bergantian sebagai pembawa acara. Dengan gaya ceria mereka, Saidah memecah keheningan lewat sapaan akrab, sementara Jamilah menyusul dengan guyonan yang membuat seluruh ruangan bergemuruh tawa.

Mereka mengatur alur acara dengan luwes, kadang menggoda hadirin, kadang melemparkan lelucon kecil tentang masa sekolah dulu.

Pasangan suami istri sesama alumni MAN 1 Angkatan 1994.

Ada juga momen romantis diiringi sorakan, saat Saidah dan Jamilah memangil beberapa teman kami sesama alumni, yang entah mulai dari mana mulainya, ternyata saling jatuh cinta hingga berakhir ke pelaminan

Suasana menjadi semakin riuh saat sesi pembagian hadiah dimulai. Tak peduli seberapa sederhana hadiahnya, sorak-sorai dan gelak tawa mengiringi setiap nama yang dipanggil.

Ada yang melompat kegirangan, ada pula yang malu-malu, tapi semua berbagi kegembiraan yang sama.

Saya juga bertemu Wahidah, sahabat kami yang datang jauh datang dari Samarinda, Kalimantan Timur.

"Perjalanan panjang ini terasa ringan, karena saya tahu yang saya tuju bukan sekadar reuni, tapi pulang ke rumah," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Saya hanya bisa mengangguk, karena saya pun merasakan hal yang sama. 

"Reuni ini adalah momen untuk saling berbagi cerita, kenangan, nostalgia masa SMA. Lebih dari itu, ini saat yang tepat untuk saling merajut kembali jalinan komunikasi yang telah lama terkunci, karena kesibukan masing-masing," ucap saya saat diminta mewakili para alumni mengisahkan perjalanan hidup kami selepas meninggalkan sekolah yang kami cintai.

Momen hiburan pun tak kalah seru. Musik mengalun, dan para alumni bergantian tampil bernyanyi. Suara yang sumbang atau lupa lirik justru menambah riuhnya suasana.

Namun puncak kemeriahan terjadi saat Pak Hirsa Purwanto dan Pak Zaini Juhdi didaulat naik ke panggung.

Dengan penuh semangat, mereka menyanyikan tembang kenangan kesukaan mereka, lagu-lagu yang mungkin sudah menemani perjalanan hidup mereka sejak lama.

Tanpa dikomando, kami semua larut dalam alunan musik. Ada yang bertepuk tangan mengikuti irama, ada pula yang berjoget riang, melepaskan diri dari segala beban dunia dewasa yang selama ini kami bawa.

Menjelang pukul 12.30 WITA, ketika acara hampir usai, para guru berbaris di depan panggung, satu persatu kami pun bergantian saling menyalami para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa kami itu. Diiringi syair dan shalawat Nabi, momen persaudaraan ini, menjadi salah satu kenangan yang telah mengukir hidup kami.

Saya sadar, dalam kehidupan yang terus bergerak cepat ini, momen seperti ini adalah kemewahan. Tidak semua pertemuan bisa diulang. Tidak semua teman lama bisa kita temui lagi.

Terima kasih teman-teman panitia yang bekerja luar biasa mempersiapkan gelaran acara. Abdul Basid, Supriadi, Saidah, Yusran Fauzi, Mudzatil Hasanah, Lisdawati, Muriani, Mulyanita, Nadzima Fitria, Zulfahriyah, Abdul Hamid, Jamilah, Helmi, Maskanah.

Berkat kalian saya dan teman-teman alumni angkatan 1994 saling bisa saling berjumpa.

Dalam perjalanan pulang, saya sadar, apa yang kami rayakan hari itu bukan sekadar kenangan. Yang kami rayakan adalah persahabatan yang telah melintasi zaman, bertahan di tengah kehidupan yang terus berubah, dan tetap hidup, sehangat dan semurni tawa kami 31 tahun lalu.

Hari ini, di tengah gelak tawa dan mata berkaca-kaca, saya menemukan satu hal yang pasti.

Persahabatan sejati tidak pernah usang. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk disambut kembali, dengan pelukan hangat dan tawa yang sama kerasnya seperti tiga puluh satu tahun lalu.

*) Pemimpin Redaksi

Halaman:
Baca Juga :  Sekda Kotabaru Lantik Pengurus DPK IKAPTK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev