Upaya mediasi sengketa lahan di Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, berakhir tanpa kesepakatan, Kamis (18/09/2025). Pertemuan yang dihadiri camat, perwakilan Polsek, unsur Forkopimcam, Bidang Hukum Pemda, ahli waris, kuasa hukum, serta sejumlah saksi itu justru memunculkan ketegangan di tengah forum.
Banuaterkini.com, KOTABARU - Kuasa hukum ahli waris, Marwan Ja’far, SH, menegaskan bahwa lahan yang saat ini dikuasai Samsat Kecamatan Pulau Laut Barat harus segera dikembalikan.
Ia menyebut, bukti legalitas berupa dokumen terbitan tahun 1962 masih dipegang keluarga pemilik sah.
“Tanah ini tidak pernah dijual. Legalitas aslinya sejak 1962 ada di tangan kami,” ujar ahli waris, Awaluddin, yang menyebut lahan tersebut dibeli orang tuanya dengan harga Rp90.000 pada masa itu.
Pernyataan ini turut diperkuat sejumlah saksi.
Namun, klaim itu berbenturan dengan keterangan Bidang Hukum Pemda Kotabaru.
Pihak pemerintah daerah menyatakan lahan sudah tercatat sebagai aset daerah, tetapi ketika diminta menunjukkan dasar pendaftaran, bukti pendukung tidak kunjung ditunjukkan.
Kondisi tersebut memicu pertanyaan balik dari kuasa hukum ahli waris.
“Apa dasar Pemda mencatatkan lahan ini sebagai aset daerah?” tegasnya.
Ia bahkan menolak saran agar persoalan dibawa ke pengadilan, menilai langkah itu hanya membuang waktu.
Situasi semakin panas ketika terungkap bahwa plang nama ahli waris yang sebelumnya dipasang di lokasi dicabut.
Kapolsek Pulau Laut Barat, AKP Amir Hasan, SH, membenarkan pencabutan tersebut diduga atas perintah camat.
“Camat sempat bertanya apakah plang itu bisa dicabut. Saya jawab, terserah bapak,” ungkapnya.
Melihat tidak adanya titik temu, kuasa hukum ahli waris meminta mediasi dihentikan sementara.
Ia menilai forum tidak efektif karena yang hadir bukan pengambil keputusan utama.
Pihaknya mendesak agar penguasaan lahan dihentikan sementara dan tidak ada aktivitas di atasnya hingga status sengketa mendapat kepastian hukum.
Kasus ini menambah daftar panjang konflik agraria di daerah, yang kerap melibatkan masyarakat dengan pemerintah.
Sengketa lahan serupa sebelumnya juga muncul di beberapa wilayah Kalimantan Selatan, menjadi sorotan karena berpotensi menimbulkan gejolak sosial bila tidak segera dituntaskan dengan transparan dan adil.