Dari Grup WhatsApp ke ‘Dunia’ Nyata, Cerita Hangat di Rumah Zatil

Redaksi - Senin, 20 Oktober 2025 | 22:11 WIB

Post View : 8

“Ada jarak yang memisahkan raga, tapi tidak hati yang saling mengenang. Karena sahabat sejati tak perlu sering bertemu — cukup saling mendoakan di setiap waktu.”

Oleh: MS Shiddiq *)

Pagi itu, Minggu (19/10/2025), udara di Komplek HKSN Permai Blok 6D terasa biasa saja. Namun di salah satu rumah bernuansa putih di ujung jalan, suasananya berbeda, hangat, riuh, dan penuh tawa.

Di rumah itu, Mauizatil Hasanah, akrab disapa Zatil, merayakan hari lahirnya yang ke-49, 13 Oktober 1976, dalam suasana sederhana namun sarat makna.

Bersama sahabat-sahabat lamanya dari Alumni MAN 1 Banjarmasin Angkatan 1994, rumah dua lantai itu berubah menjadi ruang nostalgia yang penuh cinta dan keakraban.

Saya sendiri hadir di sana, kebetulan sedang pulang dari Bogor, di sela padatnya rutinitas kerja, dan tak kuasa menolak ajakan untuk turut bersilaturahmi.

Di tengah hiruk pikuk hidup, saya menemukan sesuatu yang telah lama hilang: tawa tanpa beban bersama sahabat-sahabat lama.

Sebenarnya, kami sering bercanda di grup WhatsApp alumni, saling kirim stiker dan gurauan kecil. Namun pertemuan tatap muka seperti ini jarang terjadi. Dan hari itu, dunia maya benar-benar menjelma menjadi nyata. 

Kedatangan yang Menghangatkan

Saya tiba di rumah Zatil sekitar pukul 11.15 WITA. Cat rumahnya masih baru, halaman depannya asri dengan saung kecil dan kolam ikan yang memantulkan cahaya matahari. Dari balik pintu, terdengar suara riuh penuh tawa.

Di ruang tamu, Zulfahriah, seorang guru yang dikenal ramah dan ringan tangan, tampak sibuk bersama Mahfuziah menyiapkan hidangan di meja.

“Kalau di grup ramai, masa di dunia nyata sepi? Hari ini wajib ramai juga!” celetuk Zatil menyambut sambil tertawa.

Tak lama berselang, Mustaqimah datang bersama suaminya dari Martapura.

“Perjalanan agak panjang, tapi demi Zatil dan teman-teman, gas terus,” ujarnya sambil tersenyum kecil.

Disusul kemudian oleh Noraida bersama ponakannya yang langsung mencairkan suasana dengan canda ringan. Dari obrolan kecil di ruang tamu, perlahan suasana makin hangat, aroma es buah, kue, dan nostalgia berpadu dalam satu ruangan.

Obrolan ringan di teras rumah Zatil menjadi jembatan kenangan antara masa lalu dan persaudaraan yang tak lekang oleh waktu.

Beberapa saat kemudian, satu per satu sahabat lama mulai berdatangan. Saya tak lagi ingat urutannya, tapi setiap kedatangan membawa cerita, membawa rindu yang selama ini hanya tersimpan di layar ponsel.

Menjelang siang, tepat sekitar pukul 13.15 WITA, pintu depan kembali berayun. Handayani datang bersama suaminya, Aswani, sang juragan material yang kini sukses di usahanya. Hampir bersamaan, Hamsani, si sales produk makanan yang selalu ceria, datang membonceng Aspihani.

Meski sedang kurang sehat, Aspihani tetap memaksakan diri hadir.

“Sakit bisa ditunda, tapi rindu dengan kalian tidak,” ujarnya lirih. Ucapannya membuat semua yang mendengar terdiam sejenak, lalu tersenyum penuh haru.

Beberapa menit kemudian suasana kembali riuh oleh cerita dan tawa.

Tak lama, Maimunah, atau Imai seperti biasa kami memanggilnya, datang bersama anak bungsunya. Meski datang terakhir, ia justru pulang lebih dulu.

“Padahal  rame kalau Maimunah ada,” celetuk seseorang yang langsung disambut tawa serentak.

Sementara itu, Jamilah dan Saidah berpamitan lebih awal, karena harus menghadiri arisan di rumah yang sudah dijadwalkan sejak lama. 

Pesona Sederhana di Rumah Zatil

Zatil, dengan gamis biru navy dan jilbab abu-abu muda, tampak anggun dan tenang. Kombinasi warnanya memberi kesan kalem dan bersih, seperti kepribadiannya yang lembut dan penuh perhatian.

Suasana akrab penuh tawa mewarnai silaturahmi alumni MAN 1 Banjarmasin di rumah Zatil.

Dengan sigap ia menata hidangan: bakso kuah hangat, lalapan segar dengan sambal terasi, Ayam Betutu beraroma rempah Bali, dan tentu saja es buah ala Zatil, manis, segar, dan diracik dengan penuh cinta.

“Kalau di rumah ini, yang penting bukan menunya, tapi siapa yang duduk bersamanya,” ucapnya sambil tersenyum.

Suasana siang yang panas seolah tak terasa. Tawa mengisi setiap sudut ruangan, berpadu dengan suara sendok yang beradu dengan piring.

Semua seolah larut, menertawakan masa lalu dengan rasa syukur yang sederhana.

Para lelaki duduk bersila sambil menikmati kudapan, sementara para perempuan bercengkerama di ruang tengah dan dapur. Suasana benar-benar hidup, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi kenangan. 

Warna-Warni Persahabatan

Banyak wajah lama hadir hari itu, masing-masing membawa kisah dan perjalanan hidupnya sendiri.

Ada Saleh Yusran, bos bansaw yang masih suka bercanda seperti dulu. Nor Ifansyah, pedagang sepeda dan sparepart, datang dengan gaya santai khasnya.

Abdul Hamid, atau yang biasa kami juluki “Pambakal”, pengusaha kapal tradisional yang jarang bicara namun rajin menulis pesan bijak di grup WA.

Lalu Saiful Bahri, yang menempuh perjalanan jauh dari Landasan Ulin bersama istrinya, Atus, tak ketinggalan Riduan (Duan Auk) yang datang bersama istri dan anaknya, membawa keceriaan keluarga yang menular.

Suasana hangat di dapur rumah Zatil, tempat tawa dan cerita masa muda alumni MAN 1 mengalir tanpa sekat.

Di sela percakapan, Lisdawati, ibu rumah tangga yang gaul dan penuh semangat, berkata dengan mata berbinar:

“Dulu kita sibuk mengejar nilai, sekarang sibuk mengejar waktu. Tapi hari ini, semuanya kembali seperti dulu — tanpa batas, tanpa gengsi, saling bercerita.”

Ketika Tawa Menyatu dengan Doa

Waktu berjalan cepat. Dari siang hingga sore, ruang tamu rumah Zatil seolah menjadi tempat di mana waktu berhenti. Semua larut dalam kisah lama, dari kelucuan masa sekolah hingga kenangan guru-guru yang pernah membentuk mereka.

Menjelang petang, sesi foto bersama menjadi penutup yang manis. Para pria duduk di depan, ibu-ibu di belakang, sebagian berpose di tangga rumah.

Di antara kotak makanan, piring, dan gelas kertas, tawa mereka merekah seperti tiga dekade silam, hangat, jujur, dan tak dibuat-buat.

Pertemuan ini bukan sekadar ulang tahun, melainkan perayaan silaturahmi, wujud syukur atas umur panjang, kesehatan, dan persahabatan yang tetap utuh di tengah perubahan zaman.

Karena kebahagiaan sejati tidak selalu tentang tempat mewah atau hidangan istimewa. Ia bisa hadir di ruang sederhana, ketika sahabat lama duduk bersila, mengenang masa lalu, dan menertawakan hidup yang telah mereka jalani.

Dan di akhir hari, saya hanya bisa merenung dalam hati, bahwa persahabatan sejati tak diukur dari seberapa sering bertemu, tapi dari seberapa dalam hati saling mengingat dan mendoakan. 

Banjarmasin, 19 Oktober 2025

Halaman:
Baca Juga :  Ini Tips Rahasia Menurunkan Berat Badan Ideal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev