Saat dunia masih terlelap, perempuan muda itu sudah bangun. Jam dinding di apartemennya baru menunjukkan pukul 4 pagi, tapi rutinitas harian menuntutnya untuk bersiap. Dalam diam, ia mengenakan seragam, merapikan rambut, dan keluar menuju tempat kerja pertamanya. Di sebuah dapur restoran, ia mulai shift pukul 5.30, sibuk memotong sayur, mencuci piring, dan memastikan makanan siap tepat waktu.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Perempuan berusia 23 tahun ini adalah bagian dari generasi Z di China yang mencoba bertahan di tengah badai ekonomi yang tak ramah.
Dalam sehari, ia bekerja di empat tempat berbeda untuk mengumpulkan pendapatan sekitar 1.380 dolar AS atau Rp 21 juta per bulan. Bukan sekadar mengejar penghasilan, tujuannya jauh lebih besar: kebebasan finansial.
“Saya ingin memastikan masa depan saya tidak bergantung pada siapa pun,” ungkapnya dalam video yang ia unggah ke Douyin, TikTok versi China, yang kini viral dan menjadi perbincangan hangat.
Hari yang Padat, Mimpi yang Besar
Setelah shift pertama berakhir pada pukul 17.30, ia bergegas menuju toko makanan penutup tempatnya bekerja hingga pukul 23.00.
Di antara dua pekerjaan utamanya, ia menyempatkan diri mengunjungi rumah klien untuk memberi makan kucing dan membersihkan kotak kotorannya.
Tapi kesibukan tak berhenti di situ. Malam harinya, ia duduk di depan komputer, mengedit video untuk akun media sosialnya hingga tengah malam.
“Ini tidak se-ekstrem yang orang pikirkan. Kalau saya merasa lelah, saya istirahat,” katanya membantah kritik yang menyebut jadwalnya terlalu melelahkan.
Bagi banyak orang, ritme hidup seperti ini mungkin terdengar mustahil. Namun bagi perempuan muda ini, kerja keras adalah jawabannya di tengah kondisi ekonomi yang tak berpihak pada generasinya.
Kenyataan Suram Generasi Z di China
Perlambatan ekonomi China memukul keras generasi muda. Tingkat pengangguran untuk usia 16-24 tahun mencapai 21 persen pada Juli 2023, sebelum pemerintah berhenti merilis data resmi.
Gaji rata-rata lulusan baru universitas kini hanya 1.160 dolar AS atau sekitar Rp 18 juta per bulan, menurun dibanding tahun sebelumnya.
“Kami tumbuh dengan harapan besar di tengah kejayaan ekonomi China. Namun, kenyataannya tidak seperti itu saat kami dewasa,” ungkap salah satu warganet dalam diskusi online.
Sementara pemerintah mencoba mengatasi masalah ini dengan menawarkan subsidi magang, realitas di lapangan menunjukkan tantangan yang jauh lebih kompleks.
Menginspirasi atau Kontroversial?
Kisah perempuan ini membelah opini publik. Ada yang memujinya sebagai simbol ketangguhan generasi Z, sementara yang lain mengkritik gaya hidupnya sebagai eksploitasi diri.
Namun, di balik semua perdebatan, satu hal yang jelas: semangat pantang menyerahnya adalah cermin dari perjuangan generasi muda menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian.
“Saya hanya ingin menjalani hidup dengan cara saya sendiri,” katanya dalam sebuah unggahan, senyumnya merekah meski matanya sedikit lelah.
Ia mungkin hanya satu dari jutaan generasi Z di China, tetapi kisahnya adalah pengingat bahwa kerja keras dan mimpi besar mampu menembus batas-batas yang terlihat mustahil.
Di tengah badai ekonomi, ia memilih untuk bangkit dan berjuang, membawa harapan untuk masa depan yang lebih cerah. (Kompas).
Editor: Ghazali Rahman