Setelah dinobatkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark, Pegunungan Meratus menjadi simbol kebanggaan baru Kalimantan Selatan.
Banuaterkini.com, LOKSADO - Namun di balik pengakuan dunia itu, sebagian warga di kawasan Meratus justru masih berjuang dalam kesunyian, termasuk Desa Haratai, yang menyimpan pesona alam menakjubkan tapi terkungkung oleh keterbatasan akses jalan dan jembatan.
Desa kecil di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) itu, dikenal karena Air Terjun Haratai, salah satu destinasi wisata unggulan di lereng Meratus.
Setiap akhir pekan, wisatawan datang dari Banjarmasin, Barabai, hingga Balikpapan dan sejumlah daerah lainnya. Tapi perjalanan menuju lokasi masih penuh tantangan.
Jalan berbatu, sebagian tergerus longsor, dan dua jembatan gantung yang mulai miring menjadi ujian sebelum sampai di surga air terjun.
Kepala Desa Haratai, Asto, menuturkan bahwa sebagian besar perbaikan jalan dilakukan dengan dana desa dan gotong royong warga.
“Jalan ini urat nadi ekonomi warga, juga akses utama menuju Air Terjun Haratai. Kami bangun sedikit demi sedikit dengan tenaga masyarakat,” ujarnya saat ditemui pekan lalu.
Dari dokumentasi pemerintah desa, terlihat dua jembatan penting di wilayah ini. Jembatan Makulang di RT 01 menjadi jalur utama wisatawan menuju air terjun.
Sementara Jembatan Sungai Haliang di RT 03 menghubungkan permukiman warga, sekolah dasar, dan jalur menuju Puncak Gunung Halau-Halau, salah satu trek pendakian tertinggi di Kalimantan Selatan.
Keduanya kini dalam kondisi memprihatinkan. Sebagian papan kayu sudah lapuk, dan tiang penyangga condong akibat tergerus arus sungai.
“Kalau musim hujan, wisatawan sering takut melintas. Kami khawatir jembatan ini bisa runtuh kalau tak segera diperbaiki,” kata Asto.
Warga pun tak tinggal diam. Mereka bergotong royong memperkuat pondasi dengan batu sungai dan menambal jalan rusak menggunakan alat seadanya.
“Kalau kami tunggu bantuan besar, lama datangnya. Jadi kami kerja bersama, karena ini jalan hidup kami,” ujar Novi, warga Haratai yang juga membuka warung kecil di jalur wisata.
Namun warga berharap pemerintah tak menutup mata.
“Haratai sekarang terang karena listrik PLN sudah masuk, tapi terang itu belum sampai ke jalan kami,” ucap Novi, salah seorang warga setempat.
Pada 2024 lalu, UNESCO menetapkan Pegunungan Meratus sebagai Global Geopark, pengakuan internasional atas kekayaan geologi, keanekaragaman hayati, dan budaya masyarakatnya.
Namun, kondisi lapangan menunjukkan ketimpangan antara pengakuan global dan perhatian lokal.
“Setelah Meratus diakui dunia, seharusnya pembangunan dasar di kawasan ini jadi prioritas. Wisata alam butuh akses layak agar ekonomi warga ikut tumbuh,” ujar Asto menambahkan.
Ia menyebut, sejak 2019 Desa Haratai sudah memiliki jaringan listrik berkat program elektrifikasi PLN.
Namun infrastruktur jalan dan jembatan masih menjadi pekerjaan rumah besar.
“Kalau listrik bisa sampai ke sini, seharusnya jalan juga bisa. Kami ingin wisata dan ekonomi desa ikut berkembang,” katanya.
Masyarakat Haratai kini menaruh harapan kepada Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, hingga Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk memperhatikan kondisi tersebut.
Menurut Asto, perbaikan jalan wisata tidak hanya penting untuk kenyamanan wisatawan, tetapi juga untuk keberlangsungan ekonomi warga desa.
“Setiap meter jalan yang diperbaiki berarti harapan baru bagi warga. Kami hanya butuh dukungan nyata agar Haratai bisa dikenal bukan karena sulitnya akses, tapi karena keindahan dan keramahan warganya,” ujarnya.
Sementara itu, Yudi Rahman (29), wisatawan asal Banjarmasin, mengaku kagum sekaligus prihatin.
“Alamnya luar biasa, tapi aksesnya berat. Saya kira setelah Meratus jadi geopark dunia, jalannya sudah bagus. Ternyata masih sama seperti lima tahun lalu,” katanya.
Bagi warga Haratai, pengakuan Meratus sebagai geopark dunia bukan sekadar kebanggaan, melainkan janji yang belum ditepati.
Mereka tidak menuntut megahnya infrastruktur, hanya jalan aman, jembatan kuat, dan perhatian berkelanjutan agar pariwisata desa benar-benar bisa hidup.
Bagi warga Hartai dan kawasan lain di Loksado, pengakuan dunia itu seharusnya jadi awal, bukan akhir.
Meratus jangan hanya diurus saat mau dipromosikan. Setelah difoto dan dilaporkan ke dunia, warga dibiarkan memperbsendiri di jalan yang masih rusak ini,” pungkasnya.