Hingga kini, tunjangan kinerja (tukin) dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) masih tak kunjung dicairkan, meskipun Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 136 Tahun 2020 telah terbit. Merasa hak mereka terus terabaikan, Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) mendatangi DPR RI pada Kamis (06/03/2025) untuk mengadukan nasib mereka.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Audiensi yang digelar bersama Fraksi NasDem DPR RI, ADAKSI menyoroti ketidakadilan dalam pemberian tukin di lingkungan kementerian dan lembaga negara.
Pertemuan ini dihadiri oleh Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, serta anggota Komisi X DPR RI, Furtasan Ali Yusuf.
Sementara dari pihak ADAKSI, hadir perwakilan dari berbagai daerah, termasuk Anggun Gunawan (Koordinator Nasional ADAKSI), Cahaya dan Dicky (ADAKSI Kalimantan Tengah), dan Nova Abriano dan Uno Muhammad Teguh (ADAKSI Kalimantan Selatan).
Selain mereka turut hadir Linda dan Muh. Takdir (ADAKSI Jakarta), Andre (ADAKSI Maluku, Maluku Utara, Papua – MAMALPA), serta Ul Qadri (ADAKSI Kalimantan Barat).
Saat pertemuan tersebut, ADAKSI menyoroti ketimpangan kebijakan di mana pegawai kementerian dan lembaga lain telah mendapatkan tukin secara rutin.
Sementara dosen ASN di bawah Kemendikbudristek masih belum menerima hak yang sama.
Wakil Ketua ADAKSI, Anggun Gunawan, menegaskan bahwa sejak Perpres 136 diterbitkan pada tahun 2020, tidak ada progres signifikan terkait pencairan tukin dosen ASN.
"Kami sudah empat tahun menunggu, tetapi tukin kami masih belum dicairkan. Kami ingin kepastian hukum, bukan sekadar janji," tegasnya.
Keluhan serupa disampaikan oleh Nova Abriano, Dosen ASN DPK UNUKASE yang juga mewakili ADAKSI Korwil Kalimantan Selatan.
"Kami hanya ingin keadilan. Dosen adalah pilar pendidikan tinggi, tetapi kesejahteraan kami diabaikan. Jika tidak ada penghargaan terhadap profesi ini, bagaimana pendidikan tinggi kita bisa maju?" ujar Nova.
Menanggapi keluhan ini, Fraksi NasDem DPR RI menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan hak-hak dosen, termasuk memasukkan isu tukin dalam agenda pembahasan anggaran di parlemen.
"Dana Rp2,5 triliun untuk 33 ribu dosen ASN sebenarnya sudah tersedia, tetapi belum masuk dalam APBN. Ini yang perlu kita kawal bersama," ujar Lestari Moerdijat.
Namun, Fraksi NasDem juga menyoroti tantangan besar dalam pencairan tukin.
Tanpa instruksi langsung dari Presiden atau perubahan regulasi melalui Perpres baru, realisasi tukin masih sulit dipastikan.
"Pada 2025, ada banyak hal yang perlu didorong terkait kesejahteraan dosen. Jika tidak diperjuangkan sekarang, isu ini bisa kembali tenggelam," tambah Anggota DPR lainnya, Andina Narang.
NasDem juga menyampaikan bahwa mereka pesimis terhadap pencairan rapelan tukin 2020-2024, kecuali ada kebijakan khusus dari pemerintah untuk mengalokasikan dana tersebut.
Dalam pertemuan tersebut terungkap, meskipun dana sebesar Rp2,5 triliun telah tersedia untuk membayar tukin 33 ribu dosen ASN, hingga kini pencairannya masih terhambat oleh sejumlah faktor krusial.
Salah satu kendala utama adalah belum adanya alokasi anggaran dalam APBN, yang menyebabkan dana tersebut belum bisa disalurkan.
Selain itu, tidak adanya instruksi langsung dari Presiden juga menjadi faktor penghambat.
Meskipun Perpres 136/2020 telah diterbitkan, kebijakan tersebut tidak disertai dengan mekanisme pencairan yang jelas.
DPR menilai bahwa tanpa intervensi eksekutif dalam bentuk Perpres baru atau instruksi khusus dari Presiden, pencairan tukin akan sulit direalisasikan dalam waktu dekat.
Di sisi lain, ketidakjelasan skema pembayaran bagi dosen di bawah Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum (BH) turut menjadi kendala.
Berbeda dengan ASN di kementerian lain yang sudah memiliki mekanisme pembayaran tukin yang baku, dosen ASN masih harus menunggu regulasi khusus yang mengatur pencairan tukin mereka.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah minimnya tekanan politik terhadap pemerintah. Hingga saat ini, isu tukin dosen masih belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan fiskal nasional.
Oleh karena itu, DPR meminta ADAKSI untuk terus menggalang dukungan, baik dari publik maupun berbagai fraksi di DPR, agar pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Lambatnya pencairan tukin menyebabkan banyak dosen harus mencari sumber penghasilan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Beberapa di antaranya terpaksa mengajar di luar institusi utama, menjadi freelancer, atau bahkan beralih profesi.
Hal ini tentu berdampak negatif pada dunia akademik, di mana fokus dosen dalam melakukan riset dan pengajaran menjadi terganggu.
Jika situasi ini terus dibiarkan, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia bisa semakin menurun.
Sebagai tindak lanjut, Fraksi NasDem meminta ADAKSI untuk melakukan audiensi dengan seluruh delapan fraksi di DPR RI, agar isu ini mendapat tekanan politik yang lebih besar.
Selain itu, Komisi XI DPR RI akan membawa isu tukin dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan yang dijadwalkan minggu depan.
"Kami akan menanyakan langsung kepada Menteri Keuangan bagaimana solusi terbaik agar tukin dosen bisa segera dicairkan," ujar Charles Meikyansyah, Anggota DPR RI dari Komisi XI.
Meskipun DPR telah berkomitmen mengawal pencairan tukin, realisasinya masih tergantung pada keputusan politik dan kebijakan fiskal pemerintah.
ADAKSI dan para dosen ASN harus terus mengadvokasi isu ini agar tetap menjadi perhatian publik dan politik.
Tahun 2025 menjadi momen krusial dalam perjuangan tukin dosen. Jika tidak diperjuangkan secara intensif tahun ini, ada kemungkinan isu ini kembali tenggelam dan sulit direalisasikan di tahun-tahun mendatang.