Home » Opini

Edukasi Lalulintas Terus, Sanksi Juga Harus

Banuaterkini.com - Rabu, 6 September 2023 | 17:18 WIB

Post View : 37

Tampak sebuah mobil berwarna putih "terjebak" di marka jalan berwarna merah, Rabu (06/09/2023). Foto: BANAUTERKINI/Diq.

Ketentuan mengenai marka jalan sebenarnya sudah sangat jelas. Setidaknya ada dua landasan hukum yang mengatur soal marka yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Peraturan Menteri Perhubungan (Pemenhub) nomor 34 tahun 2014 tentang Marka Jalan. Namun terdapat perubahan yang ditetapkan dalam Pemenhub nomor 67 tahun 2018.

Catatan MS Shiddiq Elbanjary

Alarm penanda pukul 12.15 waktu Indonesia Tengah berbunyi kencang sekali. Saya yang sedang asik di depan leptop kesayangan seketika terhenti.

Rabu Siang, udara di Kota Banjarmasin terasa membakar kulit. Udara juga terasa pedih di mata. Entah karena efek perubahan iklim ektrim yang disebut elnino atau memang karena polusi udara di Kota Seribu Sungai ini memang sudah cukup mengkhawatirkan. Entahlah. Mungkin inilah salah satu keunikan Banjarmasin yang pernah berjulukan Kota Bungas itu. Entahlah!

Malas. Iya, keluar dari kamar hotel tempat saya menginap sebenarnya terasa berat, tetapi bunyi "cacing bernyanyi di lambung tengah" rasanya tak bisa diajak kompromi. 

Saya pun bergegas. Pakai baju kaos seadanya. Pakai celana gelap seperti biasa. Pakai sepatu. Dan tentu saja dompet beserta hape yang harus terus dibawa.

Tapi, lupakan rutinitas yang tak terlalu penting ini.

Yang penting justru saat saya harus memacu kendaraan di keramaian Kota Banjarmasin yang semakin sumpek karena macet dimana-mana.

Saat melintas kilometer satu menjelang depan Rumah Sakit Ulin Banjarmasin, mobil saya dipaksa berhenti. Saya pikir ada mobil ambulan yang memang harus didahulukan masuk area rumah sakit Ulin, lebih kurang 15 menitan menunggu. Sempat mengumpat di dalam hati. Tapi, saya sadar ini Banjarmasin, bukan Jakarta yang sehari-sehari bahkan berhari-hari super macetnya! Hati saya seolah berkata.

Cukup lama menunggu. Mobil depan saya bergerak perlahan. Saya pun mengikutinya pelan. 

Oalaaah mak!......rupanya "pak ogah" lagi ngatur lalulintas di putaran depan rumah sakit ulin. Ini rupanya pangkal masalah kemacetan tadi, pikir saya. Sesaat saya membatin. Kenapa tidak ditertibkan ya pengatur lalu lintas liar seperti ini? 

Salah satu penyebab kemacetan di setiap putaran balik (U-turn) di Kota Banjarmaasin adalah aksi pengatur lalu lintas liar, seperti tampak depan RSUD Ulin Banjarmasin. Foto: BANUATERKINI/Diq

Atau memang sengaja dibiarkan, karena konon penghasilan para pengatur lalulintas liar yang biasanya disebut "Pak Ogah" ini cukup menggiurkan. Penghasilannya sebulan bisa sampai sembilan belasan jutaan.

"Katanya penghasilannya dibagi tiga, satu bagian untuk "petugas lapangan" alias si Pak Ogah, satu bagian untuk koordinator yang entah siapa dia. Dan satu bagian lagi untuk aparat bersergam. Ini juga saya kurang tahu persis. Sejurus saya teringat pernah iseng bertanya tukang beca yang biasa mangkal di sekitar Rumah Sakit Ulin itu.

Tiba di Traffic Light (TL) atau lampu pengatur lalulintas Kilometer 2 selepas Duta Mall Banjarmasin. Saya berhenti. Rambu pengatur lalulintas sedang berwarna merah menyala.

Mata saya setengah melotot. Persis di depan saya. Sebuah mobil putih minibus merek salah satu produsen mobil asal Jepang."Nangkring" di marka jalan berwarna merah. Persis di depan saya. Satu dua dan bertambah banyak kendaraan roda dua juga berhenti di sekitarnya. 

Di kejauhan, saya liat seorang pengendara motor mengetuk kaca mobil itu. Dari posisi saya memang tak akan terdengar suara percakapan apa antara pengendara motor dengan orang di kemudi mobil itu.

Kaca mobil tampak dibuka perlahan. Tak lama mobil itu berusaha mundur. Tapi, tak mungkin bisa. Wong mobil saya persis  berhenti di ujung marka merah itu.

Saya baru paham. Mungkin saja si pengendara motor mengingatkan pengemudi mobil, bahwa semestinya dia berhenti sebelum marka jalan berwarna merah itu.

Lebih kurang 35 detik. Lampu hijau menyala. Semua kendaraan memasang aba-aba hendak memacu aba-aba. Hendak dipacu. Termasuk mobil putih yang terjebak di antara motor yang berhenti di marka jalan berwarna merah tadi.

Setahu saya. Selain di TL Kilometer 2 Simpang Kuripan (arah luar kota), marka jalan berwarna merah juga ada di TL Kilometer 6 (arah luar kota), dan TL Simpang Empat Kantor Pos Besar-Gereja Katedral-Hotel Mentari-Hotel Arum Banjarmasin.

Sejak efektif diberlakukan pada tanggal 17 Maret 2021 lalu, rupanya masih banyak pengendara mobil yang belum mengetahui arti dan fungsi marka jalan berwarna merah di lampu setopan atau TL itu.

Harus diketahui, marka jalan itu selain bentuk garis, elemen lain yang mesti diperhatikan pengemudi kendaraan adalah warna dari marka jalan yang tersedia. Baik garis maupun warna harus dipatuhi oleh setiap pengguna jalan

"Marka jalan warna merah ini keperluan atau tanda khusus, yang dimaksud khusus untuk roda dua," kata Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin, Slamet Begjo, seperti dikutip dari SmartFM, Selasa (02/03/2021) silam.

Ia menuturkan, bahwa marka jalan berwarna merah tersebut dikenal dengan RHK (Ruang Henti Kendaraan), yang berada di marka itu hanya diperbolehkan untuk kendaraan roda 2 (sepeda motor dan sepeda).

“Marka jalan memiliki bentuk garis lurus menyambung, garis putus-putus, dan juga garis berliku yang masing-masing memiliki maknanya sendiri-sendiri,” imbuhnya.

Setiap pengendara, wajib hukumnya mematuhi marka jalan yang ada di setiap jalanan. Peraturan marka jalan dibuat bukan hanya untuk kenyamanan perjalanan, tetapi juga untuk memastikan keselamatan pengendara dan orang lain dalam berkendara serta mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di jalan raya.

Bagi Anda yang sering berkendara di jalanan besar, pasti sudah tidak asing dengan garis-garis yang ada di permukaan jalan raya. Ada garis yang berwarna putih, kuning, hingga merah dengan bentuk yang berbeda-beda. Garis-garis tersebut disebut marka jalan.

Ketentuan mengenai marka jalan sebenarnya sudah sangat jelas. Setidaknya ada dua landasan hukum yang mengatur soal marka yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Peraturan Menteri Perhubungan (Pemenhub) nomor 34 tahun 2014 tentang Marka Jalan. Namun terdapat perubahan yang ditetapkan dalam Pemenhub nomor 67 tahun 2018.

Secara garis besar peraturan tersebut tak hanya mengatur soal arti atau makna setiap marka di jalan, tetapi juga mengatur soal sanksi yang akan diterapkan kepada para pelanggar. 

Pelanggaran terhadap marka jalan telah diatur dalam Pasal 287 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

Pasal itu menyebutkan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas, atau marka jalan dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan, atau denda paling banyak Rp500.000.

Nah, lho! Ternyata arti dan sanksinya sudah jelas bukan? 

Peristiwa yang saya lihat di jalanan Kota Banjarmasin, sebenarnya juga banyak terjadi di kota-kota lainnya. Artinya, upaya edukasi mengenai tertib berlalu lintas semestinya tidak pernah berhenti. Baik, oleh aparat penegak hukum dan pemangku kebijakan lainnya di jalanan, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat untuk saling mengingatkan. 

Bahwa, perlu ada kesadaran bersama dari para pengendara agar berkendara dengan aman (savty driving). Dan  itu tak hanya baik untuk kepentingan dirinya saja, tetapi juga kepada orang lain yang juga pengguna jalan raya. 

Bagi saya, edukukasi mengenai rambu termasuk marka jalan itu harus terus digalakkan, pada saat yang bersamaan sanksi pun kepada pelanggar juga harus diterapkan. 

Banjarmasin, 6 September 2023. 

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev