Home » Opini

Rekening Diblokir, Ujian Kepercayaan Publik

Redaksi - Selasa, 12 Agustus 2025 | 08:35 WIB

Post View : 16

ILUSTRASI: Kebijakan pemblokiran rekening tanpa sosialisasi yang memadai menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, memicu keresahan, dan menguji kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan. (BANUATERKINI @2025)

Rekening bank bukan sekadar angka, melainkan napas kehidupan. Di sanalah gaji disimpan, kebutuhan keluarga dipenuhi, dan masa depan direncanakan. Namun, bagaimana jika akses itu tiba-tiba terkunci tanpa peringatan? Dalam sekejap, rasa aman berubah menjadi resah, dan kepercayaan publik pun dipertaruhkan. Kasus-kasus terbaru menunjukkan, yang diuji bukan hanya saldo, tetapi kredibilitas negara.

Oleh: MS Shiddiq *)

KEBIJAKAN memblokir rekening tidak aktif atau dormant pada dasarnya lahir dari niat menjaga keamanan sistem keuangan, khususnya untuk mencegah praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Di atas kertas, ini adalah langkah yang masuk akal. Namun, pelaksanaannya di lapangan justru memunculkan masalah baru: informasi yang minim, prosedur yang berbelit, dan adanya biaya yang tidak semua orang pahami sumber hukumnya.

Pengalaman dan kritik Ustaz Das’ad Latif yang sempat viral di medsos menjadi sorotan publik. Ia diminta membayar Rp100 ribu untuk membuka kembali rekeningnya yang diblokir.

Baca: Ustaz Das’ad Latif Bongkar Dugaan Pungli Rekening Blokir PPATK

Angka ini mungkin tampak kecil jika dilihat per orang, tetapi akan memicu pertanyaan besar jika dikalikan dengan jutaan rekening yang bernasib sama.

Akhirnya, wajar bila sebagian masyarakat bertanya-tanya: apakah ini benar murni untuk keamanan, atau justru menjadi ladang pungutan terselubung?

Dampak Nyata di Masyarakat

Efek dari kebijakan ini tidak hanya menimpa tokoh publik. Banyak warga biasa yang juga merasakan ketidaknyamanan serupa.

Ketua MUI, Cholil Nafis, misalnya, mendapati rekening yayasan yang ia kelola diblokir tanpa pemberitahuan jelas. Nilainya ratusan juta rupiah. Bank dan PPATK memang kemudian meminta maaf dan membuka kembali blokir tersebut, tetapi rasa kaget dan khawatir sulit dihapus begitu saja.

Di sisi lain, ada kisah Ismanto, seorang buruh jahit di Pekalongan. Meski bukan kasus pemblokiran rekening, ia menerima surat tagihan pajak senilai Rp2,8 miliar karena dugaan penyalahgunaan data oleh pihak lain.

Bagi Ismanto, yang penghasilannya jauh dari angka itu, ini adalah mimpi buruk.

Walau bentuk kasusnya berbeda, dampak psikologis dan beban administratif yang harus ia tanggung menunjukkan pola yang sama, yaitu ada keputusan yang menyentuh langsung keuangan pribadi, tetapi dijalankan tanpa penjelasan memadai.

Krisis Transparansi dan Komunikasi Publik

Dari perspektif komunikasi politik, masalah terbesar dari kasus-kasus ini adalah lemahnya penjelasan resmi.

Procedural justice theory menjelaskan bahwa kepercayaan masyarakat tidak hanya dibangun dari hasil kebijakan, tetapi juga dari prosesnya, apakah proses itu adil, transparan, dan mudah dipahami.

Praktik di banyak negara Eropa menunjukkan bahwa kebijakan serupa bisa berjalan tanpa menimbulkan keresahan. Sebelum memblokir rekening, nasabah diberi pemberitahuan berkala lewat berbagai saluran: surat, email, hingga pesan singkat. Mereka juga diberi waktu dan pilihan untuk mengaktifkan kembali rekening tanpa biaya tersembunyi.

Langkah sederhana ini tidak hanya memenuhi aturan hukum, tetapi juga menumbuhkan rasa hormat terhadap hak-hak warga. 

Mekanisme yang Membingungkan Publik

Di Indonesia, jalur untuk mengaktifkan kembali rekening yang diblokir sering kali tidak jelas. Informasi yang kurang rinci membuat proses ini seperti teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh mereka yang memiliki akses atau koneksi tertentu.

Seperti kata Harold Lasswell, politik pada dasarnya adalah tentang siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Masalahnya, jika “bagaimana” ini tidak dijelaskan, masyarakat cenderung mengisinya dengan dugaan negatif.

Inilah yang kemudian memicu rumor dan kecurigaan di media sosial, bahkan sebelum klarifikasi resmi diberikan.

Akibatnya, selain kepercayaan terhadap lembaga keuangan terganggu, individu yang rekeningnya diblokir juga bisa mendapat stigma seolah-olah terlibat masalah hukum atau kriminal.

Kondisi tersebut juga menciptakan risiko ganda, yaitu hilangnya kepercayaan publik terhadap otoritas keuangan, dan terbentuknya stigma terhadap individu yang rekeningnya diblokir, seolah-olah mereka terlibat kejahatan finansial. 

Tujuan Mulia Butuh Jalan yang Bersih

Mencegah kejahatan keuangan adalah langkah yang harus didukung. Namun, tujuan baik ini akan kehilangan maknanya jika cara mencapainya justru merugikan atau menimbulkan keresahan publik.

Agar kebijakan pemblokiran rekening dapat berjalan sehat dan diterima publik, ada sejumlah prinsip yang harus dijaga.

Pertama, keterbukaan penuh. Masyarakat berhak tahu dasar hukum yang menjadi pijakan kebijakan, rincian prosedur yang harus ditempuh, serta besaran biaya—jika memang ada—sejak awal.

Keterbukaan ini bukan hanya kewajiban administratif, tetapi fondasi kepercayaan publik. Tanpa penjelasan yang jelas, setiap pungutan akan mudah dicurigai sebagai pungli, dan setiap tindakan administratif akan dilihat sebagai bentuk kesewenang-wenangan.

Transparansi juga memudahkan masyarakat membedakan mana kebijakan resmi yang sah, dan mana yang hanya rumor atau penipuan yang mengatasnamakan kebijakan pemerintah.

Kedua, sosialisasi yang luas dan berlapis. Informasi kebijakan tidak cukup hanya disampaikan sekali lewat surat edaran atau laman resmi. Banyak nasabah, terutama di daerah, tidak rutin memantau informasi daring atau membaca berita keuangan.

Karena itu, sosialisasi harus memanfaatkan berbagai saluran: media arus utama, kanal resmi perbankan, media sosial, hingga tokoh masyarakat yang dipercaya warga.

Dengan pendekatan ini, kebijakan dapat menjangkau semua lapisan, dari kota besar hingga pelosok, sekaligus mengurangi risiko kesalahpahaman.

Ketiga, proses pemulihan yang cepat dan sederhana. Jika suatu rekening diblokir, prosedur pembukaannya kembali harus mudah diakses, tidak memakan waktu berhari-hari, dan tidak memerlukan dokumen yang berlebihan.

Proses yang lambat dan berbelit bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga membebani psikologis warga yang sedang menghadapi masalah.

Semakin lama akses terhadap dana terhenti, semakin besar kerugian yang timbul, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kelangsungan usaha. Kecepatan pemulihan juga menjadi indikator keseriusan negara dalam melindungi hak-hak finansial warganya.

Ketiga hal ini, keterbukaan, sosialisasi luas, dan pemulihan cepat, bukanlah sekadar pelengkap, melainkan inti dari kebijakan publik yang sehat.

Tanpa ketiganya, kebijakan apa pun yang menyentuh urusan finansial rakyat akan rawan menuai penolakan dan melemahkan legitimasi pemerintah di mata publik. 

Kepercayaan adalah Mata Uang yang Mahal

Kepercayaan publik jauh lebih berharga daripada nilai mata uang. Sekali hilang, butuh waktu lama untuk mengembalikannya.

Karena itu, setiap kebijakan, sekecil apa pun, harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan dilaksanakan dengan rasa hormat kepada rakyat.

Negara yang kuat bukan hanya dilihat dari kemampuannya membatasi akses keuangan warganya, tetapi dari keyakinan warganya bahwa setiap aturan dibuat untuk melindungi, bukan untuk mencurigai.

*) MS Shiddiq, Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com, Peneliti, dan Pemerhati komunikasi politik. 

Baca Juga :  Pupuk Indonesia: Menjawab Tantangan, Memupuk Harapan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev