Di era digital, arus informasi mengalir begitu deras, sering kali tanpa filter yang memadai. Istilah brain rot kini muncul sebagai fenomena di mana konsumsi informasi instan membuat pemahaman menjadi dangkal dan serba cepat, termasuk dalam konteks keagamaan. Dalam sebuah diskusi lintas agama bertema "Brain Rot dan Tantangan Agama di Ruang Digital", Najmi Fuady mengupas bagaimana kebiasaan doomscrolling dan zombie scrolling memengaruhi cara kita memahami spiritualitas. Tulisan ini mengajak kita untuk lebih kritis dalam memilah informasi keagamaan, menyeimbangkan konsumsi digital, serta memperdalam refleksi agar tidak terjebak dalam pemahaman yang sepotong-sepotong.
Oleh: Najmi Fuady *)
Senin, 24 Maret 2025, saya berkesempatan menjadi salah satu narasumber dalam dialog dan buka puasa bersama lintas agama dengan tema “Brain Rot dan Tantangan Agama di Ruang Digital”. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Gusdurian Banjarmasin, dan Keuskupan Banjarmasin.
Awalnya, saya mengira diskusi ini akan berlangsung sepi, mengingat istilah brain rot mungkin masih asing bagi sebagian orang. Namun, dugaan saya keliru. Ternyata, peserta begitu antusias sejak awal hingga akhir. Rupanya, fenomena ini sangat relevan dengan pengalaman kita sehari-hari dalam menghadapi derasnya arus informasi digital.
Sebagai narasumber, saya diminta untuk mengulasnya dari persfektif yang saya tekuni yakni sains informasi. Saya mulai dengan menceritakan fenomena di era digital zaman now, yang mana kita sering kali terjebak dalam kebiasaan scrolling tanpa henti dan tanpa tujuan (zombie scrolling), serta mengonsumsi konten instan, cepat, dan menghibur—tetapi sering kali dangkal bahkan negatif (doomscrolling).
Dalam konteks spiritual, kita terbiasa mendapatkan ceramah agama dalam bentuk video satu menit, potongan ayat atau hadis yang tersebar di media sosial, tanpa mempertanyakan konteksnya. Apakah ini benar? Apakah ini utuh? Atau hanya sekadar konten yang dirancang untuk viral?
Inilah yang disebut sebagai brain rot—sebuah kondisi di mana pola pikir kita menjadi instan, kehilangan kedalaman, dan semakin sulit untuk fokus pada bacaan atau diskusi yang lebih mendalam. Diskusi ini semakin menyadarkan saya bahwa tantangan kita bukan hanya soal bagaimana mengakses informasi, tetapi bagaimana memilah dan memahami informasi dengan bijak.
Dalam diskusi tadi, muncul pertanyaan reflektif: Apakah kita benar-benar memahami agama dan nilai spiritualitas secara utuh, ataukah kita hanya sekadar mengonsumsi informasi yang cocok dengan selera dan algoritma media sosial?
Dari pertanyaan reflektif tadi, saya menyampaikan beberapa tantangan utama yang kita hadapi kepada teman-teman:
Pertama, menurunnya pemahaman keagamaan yang mendalam. Kita lebih menyenangi membaca kutipan singkat dibandingkan menelaah kitab suci secara utuh. Akibatnya, pemahaman agama menjadi sepotong-sepotong dan rentan terhadap misinterpretasi.
Kedua, polarisasi opini dan filter bubble. Media sosial membentuk echo chamber di mana kita hanya berinteraksi dengan informasi yang memperkuat bias kita saja. Hal ini membuat diskusi keagamaan yang sehat semakin sulit, karena setiap kelompok hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar.
Ketiga, hilangnya ruang refleksi dan kesabaran. Agama mengajarkan ketenangan, refleksi, dan pemikiran kritis. Namun, budaya digital cenderung membuat kita lebih impulsif, reaktif, dan kurang sabar dalam mendalami sesuatu.
Lantas, apa yang harus kita lakukan?
Untuk menghadapi tantangan ini, saya menawarkan beberapa langkah yang bisa kita lakukan. Pertama, meningkatkan literasi digital. Literasi digital bukan hanya soal bisa mengakses informasi melalui gawai, tetapi juga kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis dan reflektif. Kita harus lebih selektif dalam menyerap informasi agar tidak mudah terjebak hoaks atau pemahaman agama yang dangkal.
Kedua, membiasakan membaca sumber asli. Jangan hanya mengandalkan kutipan media sosial. Luangkan waktu untuk membaca kitab suci, tafsir, dan kajian akademik yang lebih mendalam. Hal ini pun juga tetap harus melalui bimbingan kepada mereka yang lebih ahli sebelum menyimpulkan sesuatu.
Ketiga, menyeimbangkan kehidupan maya dan nyata. Dunia maya memang menawarkan akses luas ke berbagai informasi, tetapi jangan sampai menggantikan interaksi nyata dan refleksi spiritual kita. Luangkan waktu untuk berdiskusi langsung dengan komunitas, guru, atau ulama agar pemahaman kita lebih kaya.
Terakhir, menerapkan mindful digital consumption. Pilih dan kurasi dengan bijak akun-akun yang kita ikuti di media sosial. Pastikan kita hanya mengikuti akun yang memberikan edukasi terpercaya, mengajak berpikir kritis, dan mendorong refleksi mendalam.
Diskusi ini mengingatkan saya kembali bahwa agama tidak hanya membutuhkan keyakinan, tetapi juga pemahaman yang kritis dan reflektif. Jika kita ingin menghindari brain rot, kita harus belajar menyeimbangkan konsumsi informasi cepat (digital) dengan pemikiran mendalam (tradisional).
Terima kasih kepada panitia dan semua peserta yang telah menghadirkan ruang diskusi yang begitu berharga. Semoga kita semua semakin bijak dalam mengonsumsi informasi dan lebih dalam dalam memaknai kehidupan beragama di era digital ini.
*) Najmi Fuady, adalah Dosen Universitas NU Kalsel.