Simbol "Garuda Biru" yang viral di media sosial telah memicu perhatian nasional dan mengingatkan banyak orang akan keadaan darurat yang mengancam stabilitas bangsa Indonesia.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Simbol ini pertama kali muncul di berbagai platform seperti X (sebelumnya Twitter) dan Instagram dianggap sebagai respons terhadap ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah, khususnya terkait revisi UU Pilkada yang dianggap mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Garuda, yang biasanya identik dengan warna emas yang melambangkan kejayaan dan kekuatan bangsa, kali ini diubah menjadi biru, memberikan pesan mendalam bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi kritis.
Warna biru ini dipilih sebagai simbol peringatan darurat, menggambarkan kesedihan, keprihatinan, dan ajakan untuk bertindak guna menyelamatkan demokrasi yang semakin terancam.
Netizen mengartikan "Garuda Biru" sebagai panggilan untuk seluruh rakyat Indonesia agar waspada dan tidak tinggal diam melihat apa yang terjadi.
Simbol "Garuda Biru" seolah menjadi seruan terakhir sebelum bangsa ini jatuh ke dalam krisis yang lebih dalam.
Banyak pihak menafsirkan simbol ini sebagai "Peringatan Darurat" yang mengingatkan kita bahwa suara rakyat adalah manifestasi dari kehendak Tuhan, yang tidak boleh diabaikan oleh para pemimpin negara.
Keputusan DPR untuk terus mengesahkan revisi UU Pilkada yang kontroversial ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat yang seharusnya mereka wakili.
Keberadaan "Garuda Biru" di dunia maya dianggap sebagai salah satu pemantik demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR/MPR, di mana ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat menuntut agar para wakil rakyat mematuhi putusan MK hari ini.
Suasana di lapangan sangat tegang, dengan massa yang meneriakkan yel-yel seperti "Garuda Biru, bangkitkan rakyat!" dan "Suara kami, suara Tuhan!" Massa yang hadir tidak hanya berasal dari kelompok politik tertentu, tetapi juga dari berbagai kalangan masyarakat yang merasa bahwa demokrasi sedang terancam.
Aksi demonstrasi ini semakin memanas setelah aparat kepolisian memasang barikade setelah Gerbang Pancasila di belakang kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI roboh oleh massa aksi mahasiswa.
Mahasiswa yang terlibat dalam unjuk rasa menggunakan tali untuk merobohkan pagar besi tersebut, lalu melanjutkan aksi dengan membakar sampah botol plastik dan berorasi sambil menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Indonesia.
Polisi, yang terdiri dari personel Sabhara dan Brigade Mobil (Brimob), menahan barikade sebagai antisipasi agar mahasiswa tidak masuk ke kompleks parlemen.
Rapat Paripurna Ke-3 DPR RI yang dijadwalkan untuk pagi hari Kamis tersebut batal digelar dan dijadwal ulang karena jumlah peserta rapat tidak memenuhi kuorum.
Pro dan kontra mengenai RUU Pilkada mencuat karena dinilai dibahas secara singkat pada hari Rabu (21/08/2024) oleh Badan Legislasi DPR RI, yang tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat pencalonan pada pilkada.
Sebagai langkah antisipasi, polisi telah menyiapkan sebanyak 2.975 personel untuk mengamankan unjuk rasa di dua kawasan tersebut, yakni Gedung MK dan MPR/DPR RI.
Jumlah personel tersebut terdiri dari satuan tugas daerah (satgasda) sebanyak 1.881 personel, satuan tugas resor (satgasres) sebanyak 210 personel, serta bawah kendali operasi (BKO) TNI dan pemerintah daerah sebanyak 884 personel.
Dengan simbol "Garuda Biru" dan gelombang demonstrasi yang intens, Indonesia seolah tengah memanggil seluruh rakyatnya untuk bersatu mempertahankan hak-hak mereka dan menjaga keutuhan bangsa. Ini bukan hanya tentang undang-undang, tetapi tentang masa depan demokrasi dan negara ini.
Hingga berita ini diturunkan, ribuan massa masih terkonsentrasi di jalan arteri dan kawasan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Tujuan massa cuma satu, DPR tak boleh kangkangi putusan MK yang memberi ruang bagi kontestasi politik di daerah yang sehat.