Menyambut Fajar di Bromo: Catatan Perjalanan ke Negeri Awan

Redaksi - Jumat, 22 Agustus 2025 | 11:35 WIB

Post View : 41

Saya percaya setiap perjalanan memiliki cara unik untuk meninggalkan jejak dalam ingatan. Gunung Bromo adalah salah satunya, sebuah lanskap abadi yang selalu berhasil memikat hati, baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Tulisan yang kami hadirkan ini bukan sekadar catatan perjalanan biasa. Sebagai wartawan yang memiliki pengalaman lebih dari tiga dekade, kisah ini mencoba membawa pembaca duduk di kursi Jeep, merasakan gigil udara dini hari, menyeruput kopi panas di 'rest area', hingga menyaksikan momen agung matahari terbit di Penanjakan. 

Banuaterkini.com, MALANG - Deru mesin Jeep tua berwarna hijau itu meraung, memecah kesunyian malam di kaki gunung.

Saya duduk di kursi depan, tubuh terbungkus jaket tebal warna merah yang saya persiapkan sebelumnya, jauh sebelum saya menyambangi Kota Bunga, Malang.

Angin dingin menampar wajah, menusuk tulang hingga membuat gigi gemeretuk, tapi ada semacam gairah yang tak bisa ditolak.

Hari itu, Kamis dini hari, 21 Agustus 2025 sekitar pukul 00.15 WIB, saya bersama rombongan wisatawan meninggalkan hangatnya hotel demi mengejar sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang, yaitu matahari terbit di Bromo.

Iring-iringan di Tengah Gelap

Jalanan berliku dan menanjak itu dipenuhi Jeep-jeep lain menerjang gulita. Dari jendela kaca yang berembun, saya bisa melihat lampu-lampu kuning kecil saling beriringan.

Dari luar, deretan Jeep itu tampak seperti kawanan kunang-kunang raksasa yang menembus hutan belantara.

Iring-iringan jeep yang membawa pelancong bagai kunang-kunang di malam hari.

Suasana di dalam mobil pun tak kalah hidup, ada yang tertidur pulas dengan kepala bersandar, ada yang sibuk memotret gelap pekat melalui jendela, seakan takut kehilangan satu detik pun dari perjalanan ini.

Kami melewati desa-desa yang masih terlelap: Ngadas, Wonokitri, Tosari, nama-nama yang kelak hanya terdengar samar, tapi meninggalkan jejak berupa siluet rumah-rumah sederhana dengan cahaya lampu minyak yang temaram.

Jalan semakin menanjak, udara makin tipis, dan rasa kantuk berganti dengan rasa penasaran.

Teater Langit yang Hidup

Pukul 02.45 WIB, Jeep kami berhenti di area parkir Penanjakan II. Udara seketika menyerang. Termometer kecil di salah satu kios kopi menunjukkan angka 10 derajat Celsius.

Jaket tebal yang saya kenakan seolah tak cukup, syal saya rapatkan, sarung tangan terasa menyelamatkan.

Saya menenggak segelas kopi hitam panas dari warung kecil di pinggir jalan, ditemani semangkuk mie rebus yang mengepulkan asap harum. Entah karena lapar, atau karena dingin, mie sederhana itu terasa seperti hidangan terlezat di dunia.

Waktu berjalan lambat. Wisatawan semakin banyak berdatangan. Mereka datang dari berbagai penjuru: Jawa, Kalimantan, Sumatera, Malaysia, hingga turis Prancis dan sejumlah negara mancanegara.

Kami sama-sama menggigil, sama-sama menunggu. Ada rasa persaudaraan tak kasat mata yang muncul di tengah keramaian itu.

Ketika azan Subuh terdengar, sebagian orang menepi untuk menunaikan kewajiban. Lalu, pukul 04.25, pemandu kami mengajak naik ke puncak. Tangga-tangga batu yang lembap terasa berat, tapi semangat menepis semua rasa lelah.

Dan kemudian, pertunjukan alam itu dimulai. Tak hendak ke hilangan momen itu, saya pun mulai memantas-mantaskan posisi untuk mengambil angle foto. 

"Cekrek!", bunyi kamera jepretan fotografer yang mendampingi perjalanan saya.

Langit di ufuk timur perlahan pecah. Cahaya oranye pertama muncul, lalu merambat ke biru, merah muda, hingga keemasan.

Gunung Semeru berdiri gagah di kejauhan, asap tipisnya menari pelan. Lembah di bawah dipenuhi kabut putih, seperti kapas raksasa yang menyelimuti lautan pasir.

Penulis dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan.

Wisatawan bersorak, kamera berderet menyalak, tapi saya memilih diam. Diam, dan menatap. Ada perasaan suci yang sulit dijelaskan—seperti menyaksikan kelahiran kembali dunia.

“Seakan Tuhan melukis ulang langit setiap pagi,” bisik seorang wisatawan asal Puruk Cahu, Kalimantan Tengah, Aris M Fadillah, dengan mata berbinar.

Seorang turis asal Prancis menambahkan, “This sunrise feels like a rebirth,” ujarnya.

Saya hanya mengangguk. Kata-kata sering kali gagal melukiskan keindahan.

Lautan Pasir dan Kawah: Nafas Gunung yang Hidup

Saat matahari semakin tinggi, Jeep membawa kami turun ke Lautan Pasir. Gurun hitam itu terbentang tanpa ujung, kontras dengan birunya langit.

Pasir vulkanik menempel di sepatu, angin menghempaskan butir-butir halus ke wajah. Beberapa wisatawan menunggang kuda, siluet mereka bagai adegan dari film koboi, hanya saja berlatar kawah aktif.

Salah satu lokasi favorit para wisatawan mengabadikan kenangan tentang Bromo adalah berpose di atas jeep.

Dari kaki kawah, saya mulai mendaki ratusan anak tangga. Napas terasa berat, dingin bercampur bau belerang. Dan ketika akhirnya sampai di bibir kawah, saya menatap ke bawah, kepulan asap putih mengepul, seakan Bromo sedang bernapas.

Saat itu, saya merasa kecil, rapuh, tapi juga penuh syukur. "Betapa indah lukisan alam ciptaanMU, Tuhan," ungkapku membatin.

Bukit Teletubbies, Hijau yang Mengobati

Tak jauh dari sana, Jeep berbelok menuju hamparan savana hijau yang disebut Bukit Teletubbies.

Perubahan lanskap begitu dramatis, dari hitam pekat gurun, kini berganti lembutnya padang rumput.

Bukit-bukit bergelombang seakan karpet hijau raksasa yang digelar untuk menyambut kami.

Anak-anak tertawa sambil berlari, wisatawan dewasa berpose dengan senyum lebar. Saya duduk sebentar di rerumputan, membiarkan angin gunung mengelus wajah. Rasanya damai.

Bromo dalam Ingatan

Perjalanan ke Bromo bukan sekadar wisata. Ia adalah ziarah ke pangkuan alam. Dari dingin yang menggigilkan, aroma kopi panas di dini hari, tawa di dalam Jeep, hingga rasa kagum di puncak Penanjakan, semua adalah potongan pengalaman yang melekat jauh lebih lama daripada foto yang tersimpan di ponsel.

Ketika Jeep kembali menuruni jalan berliku menuju desa, saya menoleh ke belakang. Gunung Bromo perlahan mengecil, tertutup kabut. Tapi saya tahu, saya tak benar-benar meninggalkannya.

Sebagian dari kisah Bromo sudah tinggal di dalam diri saya, dalam bentuk kenangan, rasa kagum, dan kerinduan untuk kembali suatu hari nanti.

Laporan: MS Shiddiq
Copyright @Banuaterkini 2025

Halaman:
Baca Juga :  Heboh Muncul Buaya di Pantai Batakan Baru, Dispar Kalsel Ingatkan Pengelola

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev