Karma Tak Pernah Salah

Redaksi - Senin, 25 Agustus 2025 | 07:06 WIB

Post View : 70

ILUSTRASI: Siapa yang menanam kebaikan ia akan menuai kebaikan pula, begitu pula sebaliknya. Itulah cara karma bekerja. (BANUATERKINI @2025)

Ada pepatah lama yang berbunyi: “karma tidak pernah salah alamat.” Kalimat ini kembali mengemuka ketika publik dikejutkan dengan kabar tertangkapnya Noel, sosok relawan yang dulu begitu lantang membela kandidatnya di arena politik. Kini, ia justru dijerat operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ironi? Tentu saja. Bagaimana mungkin seorang yang dulu dielu-elukan sebagai motor perjuangan, justru tersungkur karena korupsi? Tapi inilah wajah politik kita: penuh drama, penuh kejutan, dan sering kali membuat rakyat geleng kepala.

Dari Relawan ke Tersangka

Relawan, sejatinya, adalah garda moral. Mereka hadir bukan karena uang, tetapi karena keyakinan. Namun perjalanan Noel memperlihatkan sisi lain: relawan bisa berubah jadi “penikmat rente” ketika kekuasaan sudah digenggam.

Pertanyaan publik pun muncul: apakah sejak awal perjuangan itu tulus, atau hanya investasi politik untuk menagih balas jasa setelah kemenangan? Jika jawabannya yang kedua, maka apa yang menimpa Noel hanyalah buah dari apa yang ia tanam sendiri.

Kasus Noel hanyalah puncak gunung es. Kita semua tahu, banyak sekali “Noel-Noel” lain yang setelah pesta demokrasi selesai, menagih jatah di kursi komisaris, di proyek infrastruktur, atau di posisi strategis pemerintahan.

Wamenaker Immanuel Ebenezer (kiri) usai terjaring OTT KPK (Antara/voi).

Mereka bukan relawan, tapi pedagang politik. Saat kampanye, mereka teriak tentang “cinta bangsa.” Tapi setelah kandidat menang, mereka berubah jadi calo anggaran dan makelar kekuasaan.

Bedanya, Noel apes dan kena OTT KPK. Sementara yang lain? Masih bebas berkeliaran, masih pesta pora. Jadi, pertanyaan retoris pun muncul: “Siap-siap di-KPK-kan? Atau semakin lihai menyembunyikan harta haram?”

Kekuasaan dan Budaya Patronase

Dalam ilmu politik, fenomena ini dikenal dengan istilah patron–client. Sederhananya, relawan adalah “client” yang memberikan dukungan, lalu menagih imbalan kepada “patron” yang kini duduk berkuasa. Di Indonesia, pola ini sangat kental.

Banyak yang lupa: relawan bukanlah bagian dari struktur negara. Tapi dalam praktiknya, mereka sering merasa punya “jatah wajib” dari kekuasaan. Inilah yang membuat demokrasi kita tidak sehat, karena partisipasi rakyat berubah menjadi transaksi. 

OTT KPK terhadap Noel sempat memberi harapan bahwa hukum masih bekerja. Tetapi publik tetap sinis. Pertanyaan yang tak pernah selesai adalah: apakah hukum berlaku untuk semua, atau hanya untuk mereka yang sudah kehilangan pelindung politik?

Di sinilah skeptisisme tumbuh. Noel kena, tapi ratusan Noel lain masih aman. Kalau hukum hanya berlaku selektif, rakyat akan semakin apatis. Demokrasi akan kehilangan wibawa.

Demokrasi yang Sakit

Kasus Noel memang persoalan pribadi, tapi dampaknya politis. Bagaimanapun, ia adalah relawan yang selama ini melekat dengan wajah pemerintahan. Saat ia jatuh, citra pemerintah pun ikut tercoreng.

Prabowo dan Gibran harus segera memberi sinyal tegas. Apakah mereka akan membersihkan lingkaran kekuasaan dari para pencari rente, atau justru membiarkan pola lama terus berulang? Kalau tidak ada langkah nyata, rakyat akan menilai pemerintahan ini hanya menjadi rumah baru bagi “Noel-Noel” lain. 

Seperti kata Samuel P. Huntington, ketika institusi politik lemah, korupsi akan tumbuh subur. Itulah yang kita lihat sekarang. Partai politik tidak lagi menjadi mesin ideologi, melainkan hanya kendaraan menuju kursi kekuasaan. Relawan pun akhirnya mengambil alih peran, tapi bukan untuk idealisme, melainkan untuk investasi pribadi.

Akibatnya? Demokrasi kita tampak gagah di permukaan, tapi rapuh di dalam. 

Di media sosial, komentar publik berhamburan: sinis, marah, tapi juga pasrah. Banyak yang menganggap kasus Noel hanyalah contoh kecil dari kebobrokan yang lebih besar. Ada yang menyebut, “kalau semua relawan diperiksa KPK, mungkin penjara tak cukup menampung.”

Kalimat itu memang terdengar berlebihan. Tapi bukankah ia mencerminkan kekecewaan mendalam rakyat terhadap politik? 

Menunggu Karma Berikutnya

Kasus Noel adalah pengingat bahwa karma selalu bekerja. Mungkin lambat, tapi pasti. Ia datang ketika seseorang sudah merasa kebal hukum, merasa tak tersentuh, merasa punya pelindung.

Pertanyaannya sekarang: apakah Noel menjadi titik balik? Atau hanya episode pertama dari drama panjang korupsi politik kita?

Seperti kata Nanik S. Deyang, “karma tidak pernah salah alamat.” Kita tinggal menunggu giliran. Siapa lagi yang akan “di-KPK-kan”? 

*) MS Shiddiq, Peneliti Senior CIDES Institute, Konsultan Politik dan Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com 

Baca Juga :  Tahun Baru, Rajab, dan Pribadi Terbaik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev