RANS303 INDOSEVEN RANS303

Panggung Pilkada Banjarbaru dan Ironi Aturan Main

Redaksi - Jumat, 1 November 2024 | 07:43 WIB

Post View : 485

ILUSTRASI: Proses politik seringkali terjadi di luar dugaan, bahkan anomali. (BANUATERKINI/Suryakanta Institute)

Politik praktis di Indonesia memang menunjukkan bahwa aturan kerap kali bersifat lentur, bisa dibentuk atau bahkan dipelintir sesuai kebutuhan. Generasi muda yang mengikuti berita ini, terutama mereka yang bercita-cita memperbaiki tata kelola di tingkat lokal, mendapat pelajaran yang pahit. Mereka menyaksikan bahwa proses pencalonan bukan hanya soal siapa yang punya visi terbaik untuk masyarakat, melainkan siapa yang mampu bertahan dalam jebakan intrik dan kepentingan.

Oleh: MS Shiddiq

Peristiwa pembatalan pencalonan pasangan Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah (Habib Abdullah) sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru 2024 memperlihatkan sebuah kisah getir yang menampilkan wajah asli politik lokal kita. Keputusan ini, yang dibingkai dalam tajuk resmi sebagai "penegakan aturan pemilu," pada akhirnya mengajarkan kita semua, terutama generasi milenial dan Gen Z, tentang "pendidikan politik" yang nyata—meski pahit dan penuh ironi.

Bagi generasi muda yang baru mengenal dunia politik, mungkin inilah kenyataan tentang seleksi kepemimpinan daerah yang sebenarnya: panggung besar di mana aturan bisa berubah menjadi senjata untuk menjegal atau melanggengkan kekuasaan sesuai kebutuhan.

Dari perspektif komunikasi politik, drama ini menghadirkan ironi yang mencolok. Pasangan Aditya-Habib, yang dikenal sebagai kandidat kuat, tiba-tiba tersungkur oleh rekomendasi Bawaslu atas dasar “dugaan pelanggaran pemilu.” Yang menggelitik adalah bahwa rekomendasi ini berawal dari laporan pesaing politik mereka sendiri, yang jelas diuntungkan oleh "pengusiran" ini. Apakah aturan-aturan pemilu ini sungguh diterapkan untuk keadilan, atau lebih kepada menyusun panggung yang hanya menyisakan aktor yang diinginkan?

Politik praktis di Indonesia memang menunjukkan bahwa aturan kerap kali bersifat lentur, bisa dibentuk atau bahkan dipelintir sesuai kebutuhan. Generasi muda yang mengikuti berita ini, terutama mereka yang bercita-cita memperbaiki tata kelola di tingkat lokal, mendapat pelajaran yang pahit. Mereka menyaksikan bahwa proses pencalonan bukan hanya soal siapa yang punya visi terbaik untuk masyarakat, melainkan siapa yang mampu bertahan dalam jebakan intrik dan kepentingan.

Ironi di Balik Aturan

Dalam teori komunikasi politik, tindakan seperti ini disebut sebagai strategi framing—di mana aturan digunakan untuk menciptakan persepsi tertentu. Di mata publik, pembatalan Aditya-Habib seakan-akan menjadi bentuk penegakan aturan.

Namun, dalam praktiknya, ini lebih dari sekadar "mengikuti aturan"; ini adalah tindakan menyusun panggung demi menyingkirkan kompetitor yang kuat. Penggunaan aturan dalam konteks seperti ini mengaburkan batas antara keadilan dan kepentingan, yang pada akhirnya meninggalkan jejak ketidakpercayaan di benak masyarakat.

Bagaimana tidak? Pasangan yang kuat dan berpotensi menjadi favorit publik kini disingkirkan melalui narasi formal yang disusun dengan rapi. Jika generasi milenial dan Gen Z masih memiliki idealisme dalam menilai proses politik, mereka justru dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa aturan bisa berubah menjadi alat untuk menciptakan "drama" sesuai dengan peran yang diinginkan para aktor di balik layar.

Contoh serupa pernah terjadi di Pilkada Makassar 2018, ketika kandidat unggulan Mohammad Ramdhan Pomanto juga dicoret karena alasan hukum yang dianggap politis.

Alhasil, kontestasi menjadi lebih mudah bagi lawan politiknya, yang tak lagi berhadapan dengan kompetitor kuat. Kasus ini memberikan pelajaran bahwa panggung politik bisa diatur sesuai keinginan pemain yang punya pengaruh, yang dengan lihai memainkan aturan demi hasil yang diinginkan.

Siapa yang Diuntungkan?

Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: siapa yang benar-benar diuntungkan dari strategi "main" aturan ini? Tentu saja, jawabannya adalah para pesaing politik mereka.

Tanpa adanya Aditya-Habib, para kandidat lain bisa melaju dengan lebih tenang. Ini adalah kemenangan yang terasa lebih "dibantu" oleh situasi daripada murni atas dasar persaingan. Dalam dunia politik praktis, kita tahu bahwa para pesaing pasti merasa lega ketika lawan kuat mereka dikeluarkan dari panggung.

Dalam pandangan generasi muda, drama politik ini memberi pelajaran pahit bahwa aturan tidak selalu diterapkan untuk menjaga integritas dan transparansi, tetapi bisa jadi untuk memuluskan jalan bagi yang punya kepentingan.

Demokrasi yang sehat seharusnya memperlakukan aturan sebagai penyeimbang, bukan alat yang fleksibel yang bisa diarahkan sesuai tujuan. Dengan mengamati kejadian seperti ini, generasi milenial dan Gen Z dapat belajar bahwa di panggung politik, integritas bisa dijadikan bahan tawar-menawar dalam permainan kekuasaan.

Pendidikan Politik 

Bagi milenial dan Gen Z yang mulai memerhatikan politik lokal, insiden ini menawarkan "pendidikan politik" yang tajam dan sarkastik. Proses pencalonan, alih-alih dipandang sebagai kompetisi untuk menemukan kandidat terbaik, justru mencerminkan bahwa siapa yang bertahan sering kali lebih penting daripada siapa yang memiliki visi unggul.

Pendidikan politik generasi muda seharusnya mengajarkan bahwa panggung politik adalah arena untuk menampilkan gagasan dan integritas, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa di balik layar, "aturan" bisa menjadi strategi bagi mereka yang lebih lihai. Tragedi seperti ini membuka mata generasi muda bahwa idealisme di dalam politik sering kali lebih rentan dibandingkan kalkulasi pragmatis.

Drama ini juga mengajarkan generasi muda tentang bagaimana politik modern di Indonesia masih dipenuhi oleh manipulasi aturan yang menyajikan narasi-narasi bak "cerita indah" untuk publik.

Teori komunikasi politik menegaskan bahwa penguasa atau aktor politik sering kali merangkai narasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik. Publik seakan diajak melihat peristiwa ini sebagai hasil dari proses hukum yang adil, padahal kenyataannya bisa saja aturan tersebut sudah diarahkan.

Dalam komunikasi politik, istilah spin doctoring menggambarkan praktik ini dengan sempurna—mengemas fakta atau keputusan untuk terlihat lebih bersih dan netral daripada kepentingan di baliknya.

Bagi para milenial dan Gen Z, konsep ini mungkin bukan hal yang asing. Di era keterbukaan informasi, mereka punya akses luas untuk mengamati, menganalisis, bahkan membongkar manipulasi semacam ini, yang mungkin terkesan indah di permukaan, namun pahit saat dikupas.

Cermin Besar Demokrasi Lokal

Pada akhirnya, kasus ini menjadi cermin besar bagi demokrasi di Indonesia, khususnya demokrasi lokal yang masih rapuh. Generasi muda bisa melihat bahwa banyak penghalang menuju politik yang bersih, dari mulai aturan yang bisa digunakan untuk kepentingan hingga sikap pragmatisme dalam penyelenggaraan pemilu. Ini adalah pendidikan politik yang, walau tidak ideal, membuka mata mereka tentang apa yang terjadi di lapangan.

Tragedi politik ini bisa saja memicu ketidakpercayaan yang lebih besar terhadap institusi pemilu jika tidak diimbangi dengan keterbukaan dan transparansi. Idealnya, Bawaslu dan KPU adalah garda terdepan dalam menjaga integritas pemilu, tetapi kasus seperti ini menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga ini justru berada di persimpangan antara penegakan aturan dan kepentingan politik.

Peristiwa ini seharusnya menginspirasi generasi muda untuk tetap mengawasi jalannya demokrasi dengan lebih cermat dan kritis. Setiap tragedi politik menyisakan pelajaran berharga, dan dari sini kita belajar bahwa panggung politik kerap kali bukan arena yang suci.

Generasi muda harus sadar bahwa demokrasi yang mereka inginkan memerlukan lebih dari sekadar partisipasi; ia memerlukan pengawasan ketat dan kesadaran kritis terhadap apa yang terjadi di belakang layar.

Sebagai penutup, kita berharap bahwa kasus ini dapat mendorong kesadaran kolektif untuk memperbaiki demokrasi lokal. Tragedi seperti ini mungkin menjadi bagian dari perjalanan panjang menuju demokrasi yang sesungguhnya melayani rakyat, bukan kepentingan tersembunyi.

Demokrasi adalah harapan untuk masa depan yang lebih baik, dan generasi muda memiliki peran besar dalam menjaga agar demokrasi tidak berubah menjadi permainan aturan yang hanya melayani sebagian orang.

Banjarmasin, 01 November 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev