Outlook penerimaan pajak tahun 2025 diperkirakan tak mampu mencapai target dalam APBN. Pemerintah memproyeksikan realisasi hanya akan mencapai Rp2.076,9 triliun atau 94,9% dari target Rp2.189,3 triliun, memunculkan potensi shortfall hingga Rp112,4 triliun. Kondisi ini dapat memperlebar defisit fiskal dan memberi tekanan baru pada perekonomian nasional.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara terbuka menyatakan bahwa proyeksi penerimaan pajak tahun 2025 kemungkinan besar akan meleset dari target yang telah ditetapkan dalam APBN.
Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (01/07/2025), ia mengungkapkan bahwa penerimaan pajak diperkirakan hanya mencapai Rp2.076,9 triliun, atau 94,9% dari target sebesar Rp2.189,3 triliun.
"Kita perkirakan penerimaan pajak hanya mencapai 94,9 persen dari target. Artinya, ada risiko shortfall sebesar Rp112,4 triliun," ujar Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak mencatat bahwa penyebab utama tidak tercapainya target ini adalah batalnya implementasi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang semestinya menyumbang tambahan pemasukan sekitar Rp70–71 triliun.
Selain itu, penurunan harga komoditas unggulan seperti batu bara, minyak sawit, dan nikel turut menekan basis pajak sektor ekspor.
Sementara itu, tren kinerja pajak pada semester I/2025 juga menunjukkan pelemahan.
Hingga akhir Juni, penerimaan pajak tercatat Rp837,8 triliun, turun 6,21% secara tahunan (year-on-year), menurut data Kementerian Keuangan.
Kondisi ini diperburuk oleh tingginya restitusi yang dikembalikan kepada wajib pajak, serta lemahnya sektor migas. Bahkan lembaga riset IEF Research memperkirakan shortfall berpotensi menembus Rp120–140 triliun bila tren ini berlanjut.
Di sisi lain, penerimaan dari bea dan cukai justru melampaui ekspektasi, dengan outlook mencapai Rp310,4 triliun, melebihi target APBN sebesar Rp301,6 triliun.
Namun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) justru diprediksi anjlok menjadi Rp477,2 triliun, atau hanya 92,9% dari target.
Salah satu penyebabnya adalah tidak lagi masuknya dividen BUMN ke kas negara karena dialihkan ke sovereign wealth fund, Danantara.
Secara keseluruhan, total pendapatan negara tahun 2025 diperkirakan hanya mencapai Rp2.865,5 triliun, dibandingkan dengan target Rp3.005,1 triliun.
Dengan belanja negara diperkirakan sebesar Rp3.526,5 triliun, defisit anggaran pun membengkak menjadi Rp663 triliun atau 2,78% dari produk domestik bruto (PDB).
Angka ini melebar dari target defisit awal sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53% dari PDB.
Meskipun pemerintah belum mengubah postur APBN 2025, tekanan fiskal yang meningkat ini dapat berdampak pada strategi pembiayaan negara, termasuk peningkatan penerbitan surat utang.
Hal ini berisiko menekan pasar obligasi dan meningkatkan yield, yang akan diperhatikan oleh investor dalam dan luar negeri.
Sebagai respons, pemerintah menggalakkan koordinasi antara DJP, DJBC, dan Kementerian Keuangan melalui inisiatif CoreTax serta program pemantauan intensif di semester II/2025.
Namun, sejumlah ekonom menilai strategi jangka pendek ini belum cukup untuk menutup gap penerimaan tanpa reformasi perpajakan yang lebih menyeluruh.
Ancaman shortfall penerimaan pajak di 2025 bukan sekadar hitungan angka.
Ia menjadi cermin tantangan nyata dalam menjaga keberlanjutan fiskal dan kredibilitas APBN.
Dengan tekanan eksternal dan hambatan kebijakan domestik, fokus pemerintah kini harus tertuju pada efisiensi belanja, optimalisasi basis pajak, dan penguatan reformasi struktural agar ekonomi tetap stabil di tengah ketidakpastian global.