ANEH! Pengaduan Soal Pencaplokan Hutan Negara di Kalsel Macet di 5 Lembaga Negara

Redaksi - Rabu, 1 Februari 2023 | 16:04 WIB

Post View : 26

Senior Partner Integrity Law Firm Prof Denny Indrayana bersama sejumlah aktivis lingkungan mempertanyakan macetnya pengaduan mereka di 5 lembaga soal kasus pencaplokan hutan negara oleh perusahaan milik pengusaha ternama asal Kalsel di Kotabaru. Foto: Istimewa.

Laporan: Indra SN l Editor: Ghazali Rahman

Aneh bin ajaib. Pengaduan sejumlah aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat sipil  menyangkut kasus dugaan pengalihan hutan negara seluas + 8.610 hektar di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi aset PT Multi Sarana Agro Mandiri (PT MSAM), justru macet di 5 lembaga negara.

Jakarta, Banuaterkini.com - Fakta ini mendapat sorotan masyarakat sipil soal mandulnya peran pemerintah dalam penegakan hukum dan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) di berbagai daerah termasuk di Kalsel.

Kelompok masyarakat sipil menganggap Pemerintah telah melakukan pembiaran dan tutup mata terhadap kasus pengalihan hutan negara seluas + 8.610 hektar di Kabupaten Pulau Laut tersebut

Sebagai informasi, PT MSAM adalah salah satu anak perusahaan dalam naungan Jhonlin Group yang dimiliki crazy rich Kalsel, Andi Syamsuddin Arsyad atau yang lebih dikenal dengan Haji Isam.

Sosok Haji Isam dalam banyak pemberitaan, diduga memiliki relasi bisnis dengan beberapa pejabat elit Pemerintahan saat ini.

Sebelumnya, hutan tersebut dikelola PT Inhutani II (anak perusahaan BUMN Perum Perhutani) dan sejak 2018 dialihkan menjadi HGU untuk perkebunan sawit PT MSAM yang diduga kuat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Kajian yang dibuat oleh Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm dan Sawit Watch menyatakan bahwa peralihan ini diduga kuat mengandung tindak pidana korupsi, dugaan tindak pidana kehutanan, dan sindikasi mafia tanah (30/1/2023).

Denny Indrayana, dalam keterangan pers yang diterima Banuaterkini.com, Selasa (31/01/2023) menjelaskan, bahwa penting bagi civil society untuk terus memperjuangkan amanah Pasal 33 UUD 1945, di mana sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 

“Kekayaan atau sumber daya alam Indonesia selalu memiliki dua sisi, dikelola dengan amanah maka menghasilkan kesejahteraan, atau ditangani secara serakah sehingga menghasilkan mudharat seperti banjir, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya,” jelas Senior Partner INTEGRITY Law Firm sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara tersebut.

Seringkali, kata Denny, kekuatan oligarki menanamkan saham untuk dua kepentingan, pertama dividen politik, kedua tameng kasus hukum.

Akibatnya, kebijakan pengelolaan SDA hanya memikirkan profit untuk kelompok privat, jauh dari kepentingan publik. Ini yang harus terus kita lawan dan perjuangkan dengan konsisten

Perkara hilangnya hutan negara seluas 8.610 hektar ini telah dikaji secara serius dan dilaporkan ke pihak-pihak berwenang lainnya.

Denny menyebut setidaknya ada 5 instansi yang telah disambangi untuk mengadukan kasus ini, yakni KPK, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, Kementerian LHK, dan Kementerian ATR/BPN.

Namun, lanjut Denny, sudah satu tahun laporan disampaikan, penanganannya terkesan stagnan dan terhambat. Sehingga, wajar bila muncul asumsi bahwa aparat penegak hukum “ogah-ogahan” menangani laporan di atas.

"Dari kacamata pelayanan publik, penanganan atas aduan atau keluhan masyarakat yang mencapai waktu 1 tahun merupakan kesalahan besar yang tidak dapat ditolerir." ujar Denny.

Sementara itu, Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, meminta Negara melalui 5 instansi dimaksud, u untuk segera menangani permasalahan hilangnya hutan negara ini secara serius.

“Fakta hukum maupun fakta lapangan sudah sangat jelas, bahkan sebelumnya ada pendapat dari KLHK bahwa kerjasama PT Inhutani II dengan PT MSAM yang berada pada areal kerja IUPHHK-HA PT Inhutani di Areal Penggunaan Lain ini tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." ujar Rambo, dikutip Banuaterkini.com, Rabu (01/02/2023).

Namun ketika dilaporkan, ujar Surambo, kasus ini tidak maju-maju. Jangan sampai ada dugaan yang aneh-aneh dari publik.

"Apa ada suatu kekuatan besar di balik ini, sehingga Negara tidak mampu melakukan penegakan hukum?," tandasnya.

Salah seorang peneliti dan Partner Integrity Law Firm, Harimuddin, juga menyinggung kejahatan lintas sektor dalam perkara hilangnya hutan negara ini.

Disamping merugikan negara secara umum, juga terdapat hak-hak masyarakat setempat yang dilanggar.

“Peralihan hutan negara menjadi aset korporasi swasta (HGU) ini diduga melanggar berbagai regulasi dan penetapan yang mengatur tata cara pelepasan kawasan hutan," imbuh Harimuddin.

Dalam kajian kami, lanjutnya, selain ditemukan dugaan korupsi dan kehutanan, ternyata di dalamnya disinyalir kuat telah terjadi praktik sindikasi mafia tanah, sehingga peristiwa di atas juga diadukan ke Kementerian ATR/BPN.

"Perlu digarisbawahi, persoalan mafia tanah telah menjadi atensi Presiden Jokowi dan Menteri ATR Hadi Tjahjanto. Sebagaimana diketahui bersama, masalah lahan tidak hanya merugikan negara secara umum, tapi juga terdapat hak rakyat setempat yang dicederai,” tambah Harimuddin.

Dampak kerusakan lingkungan di Kalsel akibat aktivitas pertambangan. Foto: Tempo.co.

Perihal sumber daya alam, memang selalu menjadi perhatian bersama masyarakat sipil. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah seringkali justru digunakan untuk memperkaya segelintir elit dan menghasilkan musibah bagi masyarakat umum kebanyakan dan sayangnya,

Provinsi Kalsel menjadi salah satu sorotan. Hampir seluruh ruang di Kalsel sudah diperuntukkan untuk kegiatan bisnis tambang dan sawit. Konflik tenurial pun menjadi suatu hal yang sangat lumrah dihadapi oleh masyarakat setempat.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono menyoal bagaimana realitas yang dihadapi masyarakat kecil di Kalsel berhadapan dengan para penguasa dan pengusaha di bidang SDA, khususnya tambang dan sawit.

“Negara harusnya bukan hanya hadir, tapi juga harus kuat demi menjaga rakyatnya dari kerusakan lingkungan. Itu kalau kita semua, termasuk pemerintah masih cinta terhadap NKRI," tegas aktivis berambut gondrong ini.

Saat ini, ujar Kisworo, Walhi banyak menerima laporan masyarakat terkait penggusuran, konflik, dan perampasan, padahal Walhi bukan negara.

"Saya juga mendesak agar segera dibentuk Komisi dan Pengadilan Khusus Kejahatan Lingkungan dan SDA, mengingat lembaga penegak hukum, termasuk KPK, belum cukup ampuh menangani perkara lingkungan” tegas Kisworo, aktivis yang berulang kali memperjuangkan isu lingkungan di Kalsel tersebut.

Konflik horizontal, korupsi, perusakan lingkungan, perampasan tanah masyarakat, dan masalah lainnya sudah menjadi rahasia umum dibalik bisnis sumber daya alam yang dikuasai oligarki.

Ironisnya, negara cenderung diam dan membiarkan kondisi tersebut terus terjadi. Hal ini pada titik tertentu dapat menciptakan ketidakpercayaan (distrust) terhadap negara.

Oleh karenanya, penting bagi negara melalui aparat penegak hukum untuk secara aktif melakukan penindakan, bukan melakukan pembiaran apalagi turut terlibat dalam kejahatan SDA tersebut. (*)

Baca Juga :  7 Anggota Satresnarkoba Polresta Banjarmasin Jalani Pembinaan Propam Polda Kalsel

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev