Kekerasan terhadap mahasiswa yang menyuarakan aspirasi mereka kembali terjadi di Indonesia. Insiden terbaru yang berlangsung di Banjarmasin pada Jumat malam (23/08/2024) ini menjadi gambaran kelam tentang represivitas aparat keamanan dalam menghadapi aksi damai.
Banuaterkini.com, BANJARMASIN - Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Kalimantan Selatan (Kalsel) berkumpul di depan kantor DPRD Kalsel untuk menuntut penolakan terhadap pengesahan RUU Pilkada, namun yang mereka terima adalah perlakuan kasar yang menyebabkan puluhan korban terluka.
Aksi yang awalnya damai berubah menjadi tragedi ketika aparat keamanan mulai menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa.
Puluhan mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit dengan berbagai cedera fisik, mulai dari luka di kepala, lebam di tubuh, hingga sesak napas akibat gas air mata.
Di RS Sultan Suriansyah, seorang mahasiswa Universitas Islam Kalimantan (Uniska) berinisial E mengalami cedera serius di kepala dan hidung.
Sementara di RS Islam, mahasiswa lain mengalami shock berat, sementara di RS Bhayangkara, beberapa mahasiswa masih dalam pengawasan intensif.
Peristiwa ini tak hanya menciptakan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi para korban. Salah satu mahasiswa yang ditemui pada Minggu (25/08/2024) mengaku masih sangat terguncang dan takut untuk kembali berpartisipasi dalam aksi protes.
"Kami hanya ingin menyuarakan pendapat kami, tapi balasannya seperti ini," ujar salah satu korban yang enggan disebut namanya.
Kekerasan terhadap mahasiswa di Banjarmasin ini menambah panjang daftar insiden serupa di berbagai kota di Indonesia.
Jakarta, Bandung, dan Semarang pernah mengalami hal yang sama ketika mahasiswa turun ke jalan untuk menolak RUU Pilkada pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Di Jakarta, tahun 2020, bentrokan terjadi di sekitar gedung DPR/MPR, di mana mahasiswa dari berbagai universitas dipukul mundur oleh aparat menggunakan water cannon dan gas air mata. Sejumlah mahasiswa dilaporkan mengalami luka-luka dan ditangkap.
Di Bandung, sehari sebelumnya atau bersamaan dengan aksi di depan Gedung DPR/MPR Jakarta, aksi mahasiswa yang berlangsung di depan Gedung Sate berakhir ricuh setelah aparat menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa.
Insiden ini memicu kemarahan publik setelah video kekerasan tersebut beredar luas di media sosial, menunjukkan bagaimana mahasiswa dipukuli dan ditendang oleh aparat.
Begitu pula di Semarang, pada hari yang sama, aksi damai menolak RUU Pilkada di depan Gedung DPRD setempat juga berakhir dengan kekerasan. Mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan mengalami nasib serupa; beberapa di antaranya harus dirawat di rumah sakit akibat luka-luka yang mereka alami.
Peristiwa di Banjarmasin ini memperlihatkan bahwa upaya mahasiswa untuk menyuarakan pendapat mereka sering kali berakhir dengan kekerasan, seolah-olah aspirasi mereka tidak layak didengar.
Kasus-kasus ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh konstitusi, masih harus diperjuangkan dengan risiko besar.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak berwenang terkait insiden di Banjarmasin. Namun, publik menanti keadilan bagi para korban yang terluka, baik secara fisik maupun mental, akibat tindakan represif ini.
Insiden kekerasan seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya penegakan hak asasi manusia dan perlunya reformasi dalam penanganan aksi protes di Indonesia.