Untuk itu, kritik terhadap calon ini mesti dikerangkakan dalam kerangka persoalan yang lebih besar, yaitu minimnya ketersediaan calon, terutama calon yang kompeten dan berintegritas.
"Salah satu yang ditenggarai menjadi penyebab adalah syarat dalam undang-undang terkait usia minimal calon, yaitu 50 tahun. Batas usia ini menyebabkan calon-calon potensial tetapi belum sampai batas usia tersebut tidak bisa mendaftar," beber Miko.
Lebih lanjut, Miko juga menyinggung soal adanya persoalan lain yang lebih struktural, yaitu ketidakpastian perkara yang akan ditangani. Hingga saat ini hanya satu perkara, yaitu perkara Paniai, yang diperiksa oleh pengadilan.
Itupun hanya dengan satu terdakwa yang akhirnya diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama. Padahal selama menjabat sebagai hakim adhoc HAM di MA, calon yang bersangkutan tidak bisa atau sangat terbatas untuk menjalankan profesi lain.
Dijelaskannya, persoalan yang kerap muncul dari para calon adalah soal insentif. Hingga saat ini, KY belum mendapatkan informasi terkait peraturan presiden tentang insentif dan fasilitas bagi hakim adhoc HAM di MA.
"Tiga persoalan pokok di atas adalah persoalan struktural yang terdapat dalam regulasi dan proses penegakan hukum secara faktual," ungkap Miko.
KY juga berpandangan, kata Miko, jikapun seleksi diulang kembali, yang dengan demikian KY juga melanggar undang-undang karena batas waktu seleksi maksimal 6 bulan, apakah ada jaminan calon yang potensial sesuai harapan organisasi masyarakat sipil akan didapatkan?
"Dengan berbagai persoalan yang menyebabkan minimnya calon untuk mendaftar sementara perkara sudah diajukan ke tingkat Kasasi, maka KY mesti memutuskan untuk memilih calon yang terbaik dari yang ada. Jika tidak demikian, maka kepastian dan keadilan bagi korban akan tertunda," pungkasnya.