
Insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara mengguncang dunia pendidikan dan membuka fakta tentang lemahnya pengawasan terhadap praktik bullying di sekolah. Dari kasus ini, muncul desakan agar daerah memperkuat sistem perlindungan anak di lingkungan pendidikan.
Banuaterkini.com, JAKARTA — Kasus ledakan yang terjadi di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (07/1/2025), bukan hanya soal bahan peledak di tangan siswa, tetapi juga sinyal bahaya dari persoalan sosial yang lebih dalam, yaitu perundungan di sekolah.
Terduga pelaku, siswa berusia 17 tahun, diketahui pendiam dan jarang bergaul.
Sejumlah teman sekolahnya menyebut remaja itu kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-teman sekelas.
“Selama ini dengar kalau dia pernah di-bully. Dia juga terkenal pendiam,” ujar R (16), teman sekelasnya.
Saksi lain, K (17), yang mengenalnya sejak kecil, menyebut perubahan sikap pelaku baru terlihat belakangan.
“Dulu dia ceria, tapi akhir-akhir ini lebih tertutup,” ucapnya.
Kriminolog dan konsultan Yayasan Lentera Anak, Reza Indragiri Amriel, menilai insiden di SMAN 72 mencerminkan keterlambatan sistem pendidikan dalam menanggapi kasus perundungan.
“Peristiwa di SMAN 72 adalah bukti tambahan tentang bagaimana kita lagi-lagi terlambat menangani perundungan,” ujarnya
Menurut Reza, banyak korban bullying akhirnya berjuang sendirian tanpa dukungan sekolah atau lingkungan.
Ia menegaskan, pola seperti ini sering membuat korban berbalik menjadi pelaku kekerasan.
“Korban yang diabaikan akhirnya bertarung sendirian, lalu bergeser menjadi pelaku kekerasan,” kata Reza.
Ia menyebut pentingnya penerapan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) agar anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana tetap mendapat pembinaan, bukan semata hukuman.
“Anak yang melakukan pidana tetap harus dipandang sebagai insan yang memiliki masa depan,” ujarnya.
Reza juga menekankan pentingnya langkah pencegahan dengan memperlakukan kasus bullying secara serius di tingkat sekolah dan pemerintah daerah.
Menurutnya, daerah perlu memperkuat layanan konseling, pelatihan guru, serta sistem pelaporan perundungan yang aman bagi siswa.
Insiden SMAN 72 menjadi peringatan bahwa sekolah harus menjadi tempat aman bagi anak, bukan sebaliknya.