Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan bahwa calon kepala daerah yang menyandang status tersangka tetap akan dilantik jika memenangkan Pilkada. Pernyataan ini disampaikan Ketua KPU Mochammad Afifuddin seusai konferensi pers di Jakarta pada Senin (25/11/2024).
Banuaterkini.com, JAKARTA - Menurut Mochammad Afifuddin, seorang tersangka akan tetap dilakntik apabila dia memenangkan kontestasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap akan dilantik,” kata Afifuddin, seperti dikutip dari Tempo.co.
Ia menjelaskan bahwa keputusan ini sesuai dengan Pasal 163 Ayat 6, 7, dan 8 Undang-Undang Pilkada yang mengatur pelantikan calon kepala daerah meskipun memiliki status hukum tertentu, termasuk jika sudah menjadi terpidana melalui putusan pengadilan.
“Kami ingin menegaskan, status hukum itu adalah ranah penegak hukum, bukan domain KPU,” tambahnya.
Afifuddin juga menegaskan bahwa KPU tidak akan melakukan penggantian calon kepala daerah yang terkena kasus hukum, termasuk tersangka, jika insiden tersebut terjadi dalam waktu 29 hari menjelang pemungutan suara.
Aturan ini mengacu pada Pasal 16 Ayat 1 dan 2 serta Pasal 36 Ayat 3 Undang-Undang Pilkada.
“Kalau sudah sedekat ini dengan tanggal pemilihan, kami tidak bisa mengganti calon, meskipun yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka atau bahkan terpidana,” ujarnya.
Sebagai langkah transparansi, KPU akan mengumumkan status hukum calon kepala daerah kepada pemilih di tempat pemungutan suara (TPS) melalui panitia pemungutan suara (PPS).
Pemilih tetap dapat menjatuhkan suara kepada pasangan calon meski salah satu calonnya meninggal dunia atau memiliki status hukum tersangka. “Dalam kasus seperti itu, suara pemilih tetap dianggap sah,” jelas Afifuddin.
Keputusan KPU ini menjadi sorotan tajam setelah Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Sabtu malam, 23 November 2024.
Rohidin diduga memanfaatkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bengkulu untuk mendanai kampanye pencalonannya kembali di Pilkada 2024.
Dalam operasi tersebut, KPK menyita uang sekitar Rp 7 miliar dalam berbagai mata uang. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyatakan bahwa Rohidin bersama dua pejabat lain, yakni Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri, dan ajudannya, Evriansyah alias Anca, telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ketiganya diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi yang terjadi pada periode anggaran 2018-2024.
Keputusan KPU ini memunculkan perdebatan di tengah masyarakat. Beberapa pihak mempertanyakan moralitas dan integritas pemilu jika tersangka atau bahkan terpidana tetap dilantik sebagai kepala daerah.
Namun, KPU berdalih bahwa pelaksanaan pemilu harus tunduk pada payung hukum yang berlaku, di mana proses hukum terhadap calon adalah domain aparat penegak hukum.
Kondisi ini menjadi refleksi penting dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Bagaimana integritas calon kepala daerah tetap dijaga tanpa mencederai hak politik mereka?
Di sisi lain, publik berharap regulasi yang lebih tegas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh calon kepala daerah yang tersandung kasus hukum.
Dengan gelaran Pilkada yang semakin dekat, masyarakat kini dihadapkan pada dilema besar: memilih pemimpin dengan rekam jejak yang bersih atau menerima aturan yang ada meski terasa kontroversial.