Iuran Sukarela di SMKN 5 Banjarmasin Disorot, Orang Tua Siswa Keberatan

Redaksi - Rabu, 16 Juli 2025 | 19:54 WIB

Post View : 100

ILUSTRASI: SMKN 5 Banjarmasin. (BANUATERKINI/Elektronika SMKN5)

Sebuah forum silaturahmi antara pihak sekolah dan orang tua murid yang digelar oleh SMK Negeri 5 Banjarmasin hari ini, Rabu (16/07/2025), justru memunculkan pertanyaan kritis dari banyak wali murid.

Banuaterkini.com, BANJARMASIN - Surat undangan resmi bernomor 400.3.8/2266-SMKN5/Disdikbud/2025 yang ditandatangani oleh Kepala Sekolah, Syahrir, menyebutkan bahwa pertemuan dimaksudkan untuk menyampaikan program sekolah tahun ajaran 2025/2026.

Namun menurut kesaksian beberapa orang tua yang hadir, pertemuan tersebut juga diisi dengan penyampaian permintaan “dukungan orang tua” yang dikemas dalam bentuk sumbangan sukarela.

Meski tidak disebutkan secara eksplisit dalam undangan, permintaan dana itu disampaikan melalui pembagian formulir isian sumbangan yang disebut “Kartu Sumbangan Komite Sekolah”.

Bersamaan dengan kartu sumbangan tersebut juga disodorkan Surat Pernyataan kesanggupan para orang tua untuk menyebutkan nomimal besaran sumbangan yang akan diberikan. 

Kepada redaksi Banuaterkini.com, beberapa orang tua mengaku bahwa memang tidak ada angka nominal tertentu yang diwajibkan, namun suasana pertemuan yang resmi dan kolektif memberi kesan kuat bahwa kontribusi tersebut bersifat penting, jika bukan tidak langsung memaksa.

"Bagi sebagian besar wali murid, praktik ini menimbulkan tekanan moral dan psikologis," ujar orang tua yang enggan disebutkan identitasnya.

Menurut penuturannya, banyak orang tua yang sebenarnya keberatan dengan sumbangan yang disodorkan, tetapi karena khawatir dengan kemungkinan perlakuan yang akan dialami anaknya, para orang tua memilih untuk diam 

Permintaan Berlaku di Semua Tingkatan

Dugaan bahwa sumbangan tersebut bersifat menyeluruh dan sistematis semakin menguat setelah informasi yang dihimpun wartawan menyebut bahwa permintaan serupa tidak hanya diberikan kepada orang tua siswa kelas XI yang diundang secara resmi ke acara.

Orang tua dari kelas X dan XII pun mengaku telah menerima formulir serupa, baik secara langsung maupun melalui komunikasi informal dari wali kelas kepada masing-masing di kelas.

Model surat pernyataan dan kartu sumbangan yang dikeluhkan sebagian orang tua siswa. (BANUATERKINI/Istimewa)

Hal ini menimbulkan kekhawatiran baru, bahwa apa yang disebut sebagai “dukungan sukarela” telah menjadi pola yang menyeluruh dan rutin, bukan sesuatu yang insidental atau berbasis kebutuhan konkret yang transparan.

Jika permintaan ini dilakukan tanpa dasar akuntabilitas dan tanpa pelibatan orang tua dalam penentuan penggunaan dana, maka itu bisa menjurus pada pungutan yang tidak sah secara etik maupun regulasi.

Patungan Fasilitas, Sumbangan Berulang

Seorang orang tua siswa mengungkapkan, bahwa anaknya pernah diminta oleh wali kelas untuk ikut patungan membeli kipas angin untuk ruang kelas.

Permintaan itu disampaikan melalui pertemuan informal, namun kembali memunculkan pertanyaan besar, mengapa fasilitas dasar seperti ventilasi ruang belajar harus dibebankan kepada siswa?

Ia juga mengingatkan bahwa pada awal tahun ajaran, pihak sekolah telah menyampaikan bahwa iuran partisipatif hanya dilakukan satu kali di awal semester.

Namun fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa permintaan semacam itu kembali muncul dalam bentuk dan momen yang berbeda.

Inkonstistensi ini membuat banyak orang tua kehilangan kepercayaan terhadap pengelolaan dana partisipatif di sekolah.

Regulasi Ada, Tapi Batas Sukarela dan Pungutan Masih Kabur

Secara formal, regulasi yang mengatur sumbangan pendidikan di sekolah negeri sudah sangat jelas.

Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 menyebutkan bahwa sumbangan dari masyarakat diperbolehkan hanya jika bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak dibatasi jumlah dan waktu, dan tidak mempengaruhi layanan pendidikan kepada siswa.

Namun pada praktiknya, batas antara sumbangan dan pungutan seringkali kabur.

Ketika formulir disebar serentak, disampaikan di forum resmi, atau terjadi dalam konteks hubungan hierarkis antara guru dan siswa, sumbangan itu menjadi rentan dimaknai sebagai kewajiban.

Apalagi jika tidak ada ruang dialog untuk menolak, bertanya, atau memantau penggunaannya.

Maka, “sukarela” hanya tinggal istilah yang dibungkus manis, tapi mengandung beban sosial.

Ketiadaan Transparansi Menjadi Titik Masalah

Yang menjadi sumber kegelisahan utama bukan hanya soal nominal, melainkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas.

Tidak ada penjelasan rinci kepada orang tua mengenai untuk apa dana tersebut akan digunakan, bagaimana proses pencatatannya, siapa yang mengelola, serta bagaimana pertanggungjawabannya akan diumumkan.

Ini memperkuat kesan bahwa praktik semacam ini dilakukan tanpa kontrol yang cukup, atau bahkan tanpa pengawasan dari dinas pendidikan maupun pengurus komite sekolah itu sendiri.

Fungsi Komite Sekolah sebagai perwakilan partisipatif masyarakat justru kerap berubah menjadi fasilitator penggalangan dana.

Padahal, seharusnya komite menjadi mitra kritis dalam menjaga transparansi kebijakan sekolah, bukan sekadar perpanjangan tangan kepala sekolah dalam menyampaikan permintaan.

Sekolah Negeri Harus Menjadi Contoh, Bukan Beban Baru

Pendidikan di sekolah negeri seharusnya menjadi simbol keadilan sosial, bukan ruang bagi pembebanan tambahan kepada keluarga siswa.

Ketika sekolah negeri mulai meminta dana untuk hal-hal mendasar seperti kipas angin atau operasional kegiatan, maka publik patut mempertanyakan efektivitas distribusi Dana BOS dan bantuan operasional pendidikan lainnya.

Partisipasi masyarakat memang penting, tetapi partisipasi bukan berarti beban.

Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu mengelola amanah publik secara terbuka, jujur, dan adil.

Dan orang tua yang baik bukanlah yang selalu memberi sumbangan, melainkan yang dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut anak-anak mereka.

Menanggapi keluhan dan keberatan orang tua tersebut, Kepala SMKN 5 Banjarmasin, Syahrir, memberikan klarifikasi atas dugaan bahwa sumbangan yang disampaikan oleh pihak komite sekolah telah menimbulkan kesan sebagai iuran wajib.

Menurut Syahrir, bahwa persepsi tersebut kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pemahaman dari sebagian orang tua yang mungkin datang terlambat atau tidak mengikuti penyampaian program secara utuh.

“Mungkin orang tua yang menyampaikan informasi ini terlambat datang saat penyampaian program sekolah,” ujarnya saat dikonfirmasi melalui saluran WhatsApp pribadinya, Rabu (16/07/2025). 

Syahrir menjelaskan bahwa sumbangan tersebut sepenuhnya merupakan inisiatif dari komite sekolah, yang disampaikan dalam konteks membahas program kegiatan untuk tahun ajaran 2025/2026.

Menurutnya, penyampaian tersebut dilakukan sesuai dengan peran dan fungsi Komite Sekolah sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016.

Dikatakan, bahwa Komite menyampaikan program sekolah dan dalam penyampaian tersebut sesuai dengan tupoksi komite sekolah untuk menggalang dana dengan cara sumbangan sukarela berdasarkan program yang disampaikan.

"Dalam penyampaian komite sekolah tidak ada sama sekali menyampaikan bahwa ini iuran wajib. Yang komite sampaikan, bagi yang mau menyumbang sukarela silakan mengisi kartu yang disiapkan, dan bagi yang tidak mau juga tidak apa-apa,” tegas Syahrir.

Redaksi juga berusaha meminta tanggapan dari Ketua Komite, Husaini, tetapi hingga berita ini ditayangkan, yang bersangkutan belum memberikan jawaban.

Laporan: Ahmad Kusairi
Editor: Ghazali Rahman
Copyright @Banuaterkini 2025
Baca Juga :  Prestasi Gemilang, Muhammad Ali Jadi Juara Lomba Tata Rias Pengantin Banjar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev