RANS303 INDOSEVEN RANS303

Kisah Kontroversi dan Spritual Ulama Banjar Datu Abulung

Redaksi - Minggu, 7 Juli 2024 | 19:59 WIB

Post View : 47

Kisah Misris dan Spritual Datu Abulung di Sungai Batang Martapura. BANUATERKINI/Wikipedia.

Syekh Abdul Hamid Al Banjari atau yang lebih dikenal dengan nama Datu Abulung, merupakan salah seorang tokoh ulama besar di Kalimantan Selatan, memiliki sejarah hidup yang diliputi oleh cerita-cerita rakyat dan misteri.

Tak banyak catatan yang bisa dihimpun mengenai kapan ia lahir dan kapan persis wafatnya. Kisah soal Datu Abulung lebih banyak berasal dari tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Meski demikian, berikut adalah beberapa kisah yang beredar di masyarakat mengenai kehidupan dan keluarganya.

Dikutip dari Wikipedia, disebutkan bahwa ia hidup masa pemerintahan Sultan Tahlillullah Syekh Abdul Hamid muda dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari muda keduanya sama-sama diberangkatkan ke Makkah Al-Mukaramah untuk menuntut ilmu agama.

Saat kepulangan dari menuntut ilmupun tidak diketahui pula kapan waktunya. Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah, Syekh Abdul Hamid Datu Abulung mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya dari guru-guru beliau di Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah

Kelahiran dan Kematian

Datu Abulung diyakini lahir pada abad ke-17 di daerah yang kini dikenal sebagai Kalimantan Selatan. Nama asli beliau adalah Syekh Abdul Hamid Al Banjari, namun lebih dikenal dengan sebutan Datu Abulung.

Menurut cerita yang berkembang, beliau wafat pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Tanggal dan tempat pasti mengenai kelahiran dan kematiannya sulit dipastikan karena kurangnya catatan sejarah yang rinci.

Tetapi jika dilacak berdasarkan masa hidup beliau pada pemerintahan Sultan Tahlilullah/Tahirullah (bin Sultan Saidullah) adalah Sultan Banjar yang memerintah tahun 1660-1700/12, diperkirakan usianya saat diberangkatkan menuntut ilmu bersama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sekitar 20 tahun.

Adapun sebab kematiannya diduga lantaran faham tasawufnya pada masa itu yang dianggap dapat meresahkan masyarakat, akhirnya ia dihukum mati berdasarkan keputusan Sultan Tahmidillah yang memerintah saat itu.

Dikutip dari Biografi Ulama Nusantara yang ditulis (Rizem, 2016: 56–66) diceritakan, bahwa Syeikh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung memiliki paham tasawuf Wahdatul Wujud.

Pandangan tasawuf yang dianutnya dipengaruhi aliran ittiihad Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani dan Syekh Siti Jenar.

Kesempatan Syekh Abdul Hamid dalam mengembangkan ajaran wujudiyyah mulai mendapatkan sandungan ketika tersiar sampai ke telinga Sultan Tahmidillah dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari bahwa ajaran yang dibawanya dianggap meresahkan masyarakat.

Diceritakan, Abdul Hamid mengajarkan orang-orang bahwa tidak ada wujud kecuali Allah. Tidak ada Abdul Hamid kecuali Allah; Dialah aku dan akulah Dia. Syekh Muhammad Arsyad sebagai penganut ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani Al-Madani guru dari tokoh-tokoh Tarekat Samaniyah Nusantara tidak sepakat dengan pemikiran wujudiyyah-nya Syekh Abdul Hamid dan bahkan menganggapnya musyrik.

Akibat dari pemikirannya itu, Syekh Abdul Hamid Abulung berakhir hidupnya di tangan para algojo Kesultanan Banjar. Ia dihukum mati oleh keputusan Sultan Tahmidillah, atas pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad, yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar. Ia dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.

Keturunan

Tidak banyak informasi atau catatan tertulis yang mengisahkan tentang keluarga Datu Abulung. Namun, dari cerita rakyat yang berkembang mengisahkan bahwa beliau berasal dari keluarga yang taat beragama dan memiliki garis keturunan ulama.

Datu Abulung dikenal memiliki beberapa anak, tetapi informasi spesifik tentang mereka tidak banyak diketahui.

Anak-anak dan cucu-cucu Datu Abulung diduga melanjutkan warisan spiritual dan keagamaan beliau. Mereka kemungkinan besar menjadi penerus ajaran Islam yang diajarkan oleh Datu Abulung dan tetap menjadi panutan masyarakat setempat.

Hingga saat ini, keturunan Datu Abulung masih diyakini hidup di Kalimantan Selatan, meskipun nama dan identitas spesifik mereka jarang disebut dalam cerita rakyat.

Masjid Jami Datu Abulung

Dijelaskan Abdul Baqir Zein (1999) dalam buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, Masjid ABulung adalah mesjid yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II yang memerintah periode 1761-1801. Ia membangun Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai bentuk penebusan dosa karena telah memerintahkan para algojo raja untuk mengeksekusi Datu Abulung.

Warisan Spiritual

Keturunan Datu Abulung, baik dalam garis keturunan biologis maupun spiritual, terus melanjutkan tradisi dakwah dan ajaran-ajaran beliau. Banyak dari mereka yang menjadi tokoh agama atau ulama di komunitas masing-masing, menjaga dan meneruskan nilai-nilai Islam yang telah diajarkan oleh Datu Abulung.

Pengaruh beliau masih terasa kuat dalam praktik keagamaan dan kehidupan sehari-hari masyarakat Kalimantan Selatan.

Datu Abulung, meski penuh dengan misteri, tetap menjadi sosok yang dihormati dan dikenang di Kalimantan Selatan. Kelahiran dan wafatnya yang tidak tercatat secara pasti menambah nuansa mistis seputar kehidupannya.

Keluarga dan keturunannya, baik yang diketahui maupun yang tidak, tetap menjadi bagian penting dalam menjaga warisan spiritual dan dakwah Islam yang telah beliau mulai.

Dengan demikian, Datu Abulung terus hidup dalam hati dan praktik keagamaan masyarakat, menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya dalam menjalankan ajaran Islam.

Laporan: Ahmad Kusairi
Editor: Ghazali Rahman
Copyright @Banuaterkini 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev