Home » Kolom

Festival Budaya Kongres Borneo Raya di Musim Pancaroba, Ikhtiar Memetik Hikmah Budaya Lampau

Banuaterkini.com - Senin, 23 Mei 2022 | 14:03 WIB

Post View : 3


Oleh: Sri Naida, S.Si., MPA. (Penggiat Budaya dan Lingkungan Asli Kalimantan, Direktur Komunitas SastraAmbin Batang Banjarmasin, Wakil Ketua Forum PRB API Kalimantan Selatan).


 

PANAS itu kekuatan, panas itu energi penggerak, pemicu perubahan. Manusia dan makhluk seluruh alam tak akan pernah berhenti mencari energi untuk berubah dan beradaptasi. Akan tetapi kenapa bila membahas pemanasan global langsung paranoid? Efeknya jadi penyakit psikosomatis: kepala pusing, ketakutan, terbayang advokasi protes warga terhadap perusahaan yang diduga pemicu efek rumah kaca, kerusakan hutan lahan, pola bahuma dan bakebun tradisional pemicu kebakaran.

Pada rencana pagelaran Festival Budaya yang di selenggarakan Kongres Borneo Raya (KBR) di Kota Banjarmasin ini, maka kita berharap dapat mengumpulkan kembali gagasan besar tentang cara menjaga alam. Apalagi saat masa musim pancaroba seperti sekarang ini. Ketua Umum KBR, Bujino A. Salan pernah menyebutkan, bahwa acara ya ng akan dilaksanakan pada tanggal 2-5 Juni 2022 ini, akan melibatkan seluruh etnis di Kalimantan. Melalui acara ini akan digali lagi makna dari kegiatan Bahuma, Baladang dan menjaga alam, "Sebagai sumbangsih orang Kalimantan bagi pembangunan Kalimantan apalagi IKN Nusantara berada di Kalimantan.” ujarnya bersemangat kala itu.

Lalu, apa relevansi musim pacaroba pada bulan Maret-April-Mei ini? Musim Pancaroba adalah musim peralihan, atau musim mempelajari alam. Di Indonesia di daerah Khatulistiwa seakan sudah mengalami empat musim: Musim hujan pada bulan Desember- Pebruari, musim pancaroba pertama Maret- Mei, Musim kemarau Juni-Agustus dan pancararoba hujan September- Desember.

Kenapa musim pancaroba jadi penting di bahas? Sebab selama ini banyak abai dibahas dan di sosialisasikan. Padahal musim pancaroba banyak diingatkan dalam pepatah leluhur dan juga pembacaan perubahan alam yang dikenal dengan pendekatan budaya.

Saya, selaku Sekretaris KBR sekaligus sebagai Direktur Komunitas Ambin Batang Banjarmasin dalam sebuah sesi diskusi daring pernah menyampaikan bahwa sudah jamak di berbagai daerah metode pembacaan tanda alam, salah satunya adalah ketika melihat buah kapas dari pohon randu telah pecah, maka itu suatu pertanda awal musim kemarau. Udara lebih dingin, daylight hampir sama dengan daynight yaitu dua belas jam. Akan tetapi suhu tinggi siang hari, malam lebih dingin. Tetapi, dewasa ini pohon kapuk atau randu sudah sangat sulit dijumpai, apakah karena memang sudah tak lagi di tanam? Entahlah, mungkin karena kapuk sebagai bahan pembuat kasur untuk istirahat sudah diganti dengan kasus busa atau air, atau sisa serabut plastik.

Di pulau Jawa, tanda kemarau panjang bila daun pepohonan mulai meranggas, atau berjatuhan tapi pohon tidak mati. Secara ilmiah juga disebutkan permukaan air mulai menyusut, bila di kota-kota pinggir laut, maka air laut akan intrusi, sehingga sumur atau air anak sungai cenderung asin. Ada lagi fenomena hujan di beberapa daerah. Tercatat selama pandemi, tahun 2020 di kota Pontianak, Palangkaraya terjadi hujan es. Tahun 2021 di Kota Samarinda, Banjarmasin dan Kabupaten Tanah laut. Bandingkan dengan kota-kota di pesisir pulau Jawa seperti Jakarta, Serang dan Semarang hampir setiap tahun. BMKG menyebutkan adanya pemicu terjadinya hujan es adalah gaya angkat massa udara yang kuat akibat adanya pemanasan yang kuat sebelumnya, sehingga uap air dengan mudah naik ke atas menjadi awan cumulonimbus yang besar, menjulang tinggi dengan dasar awan yang rendah. Maka terjadilah tetes air.

Halaman:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev