"Kalau kita punya budaya malu, saya kira wajar kita mundur semua. KPU, Bawaslu, Mendagri, Kapolri. Gagal kita ini. DPR juga supaya adil. Tidak apa-apa, kalau perlu kita mundur berjamaah, saya siap," tandasnya.
Ia juga menyinggung lemahnya pengawasan terhadap calon kepala daerah, termasuk kasus ijazah palsu dan penyalahgunaan jabatan.
"Masa iya urusan remeh-temeh seperti ijazah palsu dan masa jabatan bisa lolos? Kita ini kayak keledai, masuk lubang yang sama berulang-ulang. Secara administratif saja kita gagal, bagaimana secara substantif?" tegasnya.
Selain itu, Deddy mengingatkan bahwa kondisi ini dapat berdampak buruk bagi demokrasi dan pemerintahan daerah ke depan.
Ia menilai banyak kepala daerah terpaksa mencari cara untuk membiayai PSU, yang berpotensi meningkatkan kasus korupsi.
"Kepala daerah suruh tarung lagi. Dari mana uangnya? Minjam, jual, gadai. Besok-besok korupsi semua. Yang salah siapa? Karena kita tidak melaksanakan tanggung jawab kita," ungkapnya.
Deddy menutup pernyataannya dengan desakan agar penyelenggara pemilu melakukan refleksi serius terhadap berbagai masalah yang terjadi.
"Hampir 60% Pilkada bermasalah. Kalau ini dibiarkan, akan direplikasi pada pemilu berikutnya. Ujungnya apa? Hutan habis, tambang habis, semua dihabiskan untuk membiayai pemilu yang tidak jujur dan adil. Ini soal peradaban, bukan sekadar teknis," pungkasnya.