Laporan: Misbad l Editor: Ghazali Rahman
Sejumlah pemilik perusahaan pers online yang tergabung dalam Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menyatakan menolak rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Media Berkelanjutan “Publisher Right” atau hak penerbit.
Jakarta, Banuaterkini.com – Penolakan SMSI tersebut didasarkan pada penilaian bahwa Perpres Publisher Right tersebut justru akan memberangus kebebasan pers, menciptakan ekosistem perusahaan pers yang tidak sehat, dan bakal melahirkan monopoli oleh media mainstream.
Penolakan SMSI tersebut muncul sebagai salah satu Hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) SMSI yang dibacakan oleh Ketua Umum SMSI Pusat, Firdaus bertepatan pada puncak acara Hari Ulang Tahun (HUT) SMSI ke-6 di Hall Dewan Pers, Jakarta, Selasa (07/03/2023) tadi malam.
Pada Sidang pembahasan tentang publisher right yang diketuai Sihono HT (SMSI Yogyakarta), Sekretaris Bustam (SMSI Papua Barat), dan beranggotakan HM Syukur (SMSI Nusa Tenggara Barat), Aldin Nainggolan (SMSI Aceh), dan Fajar Arifin (SMSI Lampung), mengemuka 8 poin alasan mengapa SMSI meminta Presiden Jokowi tidak menandatangani Perpres Publisher Right tersebut.
Alasan pertama, kata Firdaus, kerena SMSI menilai Perpres tersebut justru akan mempersempit hak perusahaan pers kecil untuk hidup.
Selain itu, ditambahkannya pada alasan poin kedua, adalah karena Perpres Publisher Right dianggap hanya akan memperkuat hegemoni media mainstream dan menutup media start up.
Tak hanya itu, lanjutnya pada poin ketiga, SMSI menilai Perpres Publisher Right juga akan menciptakan persaingan bisnis yang tidak sehat, dan bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
Lebih lanjut Firdaus menyebutkan, pada alasan poin keempat, bahwa sebagai konstituen Dewan Pers, SMSI mendesak agar Dewan Pers juga tidak mengusulkan draft atau rancangan Perpres kepada Presiden untuk mengatur tentang pers.
“Sebagai konstituen Dewan Pers, SMSI mendesak agar Dewan Pers juga tidak mengusulkan draft atau rancangan Perpres kepada Presiden untuk mengatur tentang pers,” imbuhnya.
Ditambahkannya, alasan lainnya pada poin kelima adalah, SMSI sudah meminta Dewan Pers menjaga keberlangsungan hidup perusahaan pers kecil di Indonesia.
Pada poin keenam, SMSI juga meminta agar Presiden Jokowi tidak menandatangani draft Perpres Publisher Right yang diserhakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) atau dari pihak manapun.
“SMSI juga meminta agar Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani draft Perpres Publisher Right yang diserahkan oleh Kementerian Kominfo atau dari siapapun,” tegas Firdaus lagi.
Sementara itu pada poin ketujuh, SMSI juga menghimbau agar seluruh perangkat Pemerintah dari tingkat Pusat maupun Daerah untuk tidak ikut campur membuat regulasi yang potensial bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers.
“SMSI juga mengimbau kepada seluruh perangkat pemerintah RI untuk tidak ikut campur dalam menelurkan regulasi terkait perusahaan pers selain yang termaktub dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers,” lanjutnya.
Sedangkan pada poin kedelapan, Firdaus juga menyebutkan bahwa seluruh anggota SMSI dengan tegas berkomitmen menegakkan kode etik jurnalistik dan undang-undang tentang pers, serta pedoman pemberitaan media siber.
Berdasarkan delapan alasan-alasan tersebut, kata Firdaus, maka SMSI dengan tegas menyatakan menolak rancangan Perpres Media Berkelanjutan Publisher Right.
“Keputusan ini merupakan hasil Rakernas SMSI yang dihadiri seluruh perwakilan 34 provinsi di Indonesia,” pungkasnya.
Hadir pada puncak acara HUT SMSI ke-6 Ketua Komisi II DPR-RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Ketua PWI Pusat Atal S Depari, Dewan Pembina SMSI Mayjen TNI (Purn.) Joko Warsito, dan Sri Datuk Panglima Tjut Erwin Suparjo.
Selain itu hadir pula Penasehat SMSI Ervik Ari Susanto, Ketua Umum Perkumpulan Pemimpin Redaksi Media Siber Indonesia Iman Handiman, Ketua Badan Siber Nasional SMSI Laksdya TNI Purn. Agus Setiadji, Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022 Hendry Ch Bangun, serta Dewan Pertimbangan SMSI KH. M. Ma’shum Hidayatullah, Theodorus Dar Edi Yoga, dan GS Ashok Kumar.