Di Banjarmasin, sejumlah tokoh akademisi dan masyarakat memberikan tanggapan kritis terhadap situasi ini.

Humas Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan (UNUKASE), Muhdi, menegaskan bahwa kepemimpinan yang konstruktif sangat penting untuk menjaga harmoni dalam sebuah organisasi.

“Perilaku arogan dan reaksi emosional yang berlebihan dari seorang pejabat tinggi tidak hanya merusak moral tim, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Pemimpin harus mampu mengelola stres dan menyelesaikan konflik dengan cara yang profesional,” ujar Muhdi.

Senada dengannya, Ketua Program Studi Magister Akuntansi IBITEK, Saiful Anuar Syahdan, turut menyuarakan keprihatinannya.

Ia berharap Menteri Satryo dapat lebih fokus pada peningkatan kualitas riset dan inovasi di tengah tantangan globalisasi, alih-alih terseret dalam persoalan internal.

“Kami berharap Menteri dapat menunjukkan kepemimpinan yang lebih bijak dan visioner. Tantangan pendidikan tinggi sangat besar, dan itu harus menjadi fokus utama,” ujar Saiful.

Sementara itu, seorang pengamat sosial budaya dari Ambin Demokrasi, Noorhalis Majid, menekankan bahwa seorang pejabat publik harus menjadi teladan yang mengayomi dan membina.

Menurutnya, sikap arogan justru akan memperburuk iklim kerja dan menciptakan perhatian yang teralihkan dari isu-isu strategis.

“Sikap kasar tidak akan menyelesaikan masalah, malah hanya menambah beban organisasi. Seorang pemimpin seharusnya menjadi panutan dan mampu menciptakan harmoni di lingkungan kerja,” kata Noorhalis.

Dalam upaya meredakan tensi, pertemuan antara Menteri Satryo dan perwakilan pegawai yang terlibat aksi damai telah dilaksanakan.