Minggu pagi (23/03/2025), selepas sahur sekitar pukul 04.05 WIB, saya membuka status WhatsApp yang biasanya jarang saya sentuh. Mata saya tertuju pada unggahan seorang mahasiswa yang menampilkan ucapan belasungkawa. Juwita meninggal dunia.
Oleh: MS Shiddiq *)
Nama yang tertera di situ membuat dada saya berdebar. "Juwita?" Saya mengernyit, membaca ulang status itu.
Juwita adalah salah satu mahasiswa saya, seorang jurnalis muda di Banjarbaru. Tidak percaya dengan apa yang saya lihat, saya segera menghubungi Hasanin, mahasiswa yang mengunggah status tersebut.
"Sakit apa Juwita?" tanya saya, masih berharap ini hanya kesalahpahaman.
"Kecelakaan, Pak. Kecelakaan tunggal di daerah Gunung Kupang arah Kiram kemarin sore," jawabnya.
Saya tertegun. Terlalu mendadak. Naluri jurnalistik saya muncul. Kecelakaan? Sama siapa saat kecelakaan? Bagaimana kondisi terakhirnya? Posisi tubuh Juwita saat ditemukan seperti apa? Adakah luka-luka luar yang menganga? Barang-barang pribadinya bagaimana?
Saya mencari tahu. Tapi, semua serba sedikit. Saya berusaha mengontak keluarga terdekatnya.
Salah seorang sahabatnya yang enggan ditulis namanya mengaku mendengar kisah bahwa rencananya Mei 2025 nanti Juwita akan melangsungkan pernikahan dengan seorang pria dari kesatuan TNI Angkatan Laut.
Jawaban dari setiap pertanyaan yang saya ajukan itu terlalu banyak yang terasa janggal. Saya mengenal Juwita sebagai gadis energik, penuh semangat, dan tak pernah terdengar sakit.
Dia bahkan tengah menyiapkan masa depan, termasuk rencana pernikahannya dalam waktu dekat. Namun, sekarang semua tinggal kenangan.
Berusaha merajut setiap kisah yang saya dapatkan, tetapi tetap saja keingintahuan saya dengan penyebab kematian Juwita semakin besar.
Kenangan tentang Juwita
Di kelas, Juwita cukup menonjol secara akademik, dan ini yang membuat saya selalu salut dengan kegigihannya.
Selain kuliah, gadis cantik 25 tahun ini juga mengasah terus kemampuannya di dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan di salah satu media online.
Pernah suatu kali, dia menghubungi saya, meminta izin untuk datang terlambat ke kelas karena ada liputan di Kantor Wali Kota Banjarbaru. Dia menyertakan bukti tugas jurnalistiknya, menandakan betapa seriusnya ia dengan pekerjaannya.
"Juwita itu ingin terus belajar Pak bagaimana menjadi wartawan yang baik," ujar Juwita satu ketika.
Saat pertemuan terakhir kami di kantin kampus, saya dan mahasiswa lainnya sempat mengabadikan momen itu dalam sebuah foto.
Dalam beberapa foto tersebut, Juwita tampak mengarahkan pandangan ke sudut lain, seakan ada sesuatu yang dipikirkannya. Entahlah mungkin itu hanya firasat saja.
Kini, saat memandangi kembali foto-foto kenangan itu, dada saya terasa sesak. Tak pernah terpikirkan bahwa itu akan menjadi kenangan terakhir.
Sosok Penuh Semangat dan Dedikasi
Bagi teman-temannya, Juwita adalah sosok yang penuh semangat.
"Dia selalu membawa energi positif. Kalau ada yang butuh bantuan, dia yang pertama menawarkan diri," kata Hanan Latifah, salah satu sahabatnya.
Rekan mahasiswa yang lain juga juga merasakan kehilangan yang mendalam.
"Juwita bukan hanya sekedar teman, tapi juga sahabat yang baik. Dia selalu peduli pada orang lain," terang Dinda Poetri, teman sekelasnya yang lain.
Senada dengan Hanan dan Dinda. Sahabat karibnya yang lain, Afifah, punya cerita yang tak kalah mengharukan.
Menurut Afifah, Juwita bukan hanya sahabat, dia adalah bagian dari jiwa kami. Gadis yang begitu lembut, penuh kebaikan, dan selalu ingin bersama dalam setiap langkah perjalanan kami.
Apapun kegiatannya, dia selalu ingin ditemani—mengerjakan tugas, menghadiri kegiatan kampus, bahkan sekadar berjalan-jalan.
"Baginya, kebersamaan adalah segalanya," kenang Afifah.
Dia tak pernah ragu untuk berbagi. Berkali-kali, dia yang pertama mengajak kami makan bersama, menonton film, atau sekadar menikmati waktu dengan canda dan tawa. Sederhana, tapi penuh makna.
"Kami pernah berjanji untuk mengerjakan skripsi bersama, supaya tetap semangat dan bisa lulus bersamaan. Betapa indahnya rencana itu, penuh harapan dan impian," ujar Afifah lagi.
Terakhir kali dia menghubungi, Afifah mengisahkan, 18 Maret lalu. Katanya, dia ingin datang ke rumah untuk mengerjakan proposal skripsi bareng. Dia juga bertanya soal warna kain bridesmaid yang akan dipakai nanti, seolah begitu antusias menyusun rencana-rencana kecil kami.
Kami, ujar Afifah, bahkan berencana buka puasa bersama di Banjarmasin, merayakan ulang tahun sahabat kami, dan masih banyak lagi rencana yang belum sempat terwujud.
"Tapi, tiba-tiba... kabar itu datang. Juwita pergi. Tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal, tanpa memberi isyarat bahwa rencana-rencana itu akan selamanya menjadi kenangan yang tertinggal," isak Afifah.
Lain lagi dengan cerita Rahel. Juwita itu, menurut Rahel, adalah sosok yang begitu tangguh dan penuh dedikasi.
Sebagai seorang jurnalis dengan banyak relasi, ujar Rahel, Juwita adalah jembatan bagi mahasiswa lainnya di kampus untuk menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, terutama dalam mencari sponsorship untuk kegiatan seperti kegiatan Sinopsis beberapa waktu lalu.
Juwita juga, lanjut Rahel rela mengorbankan waktunya, menomorduakan keperluan pribadinya demi memastikan segala urusan "Sinopsis" berjalan lancar.
Juwita tidak hanya sekadar membantu, tapi benar-benar mengabdikan dirinya demi keberhasilan kegiatan tersebut.
"Kebaikannya, kerja kerasnya, dan pengorbanannya akan selalu kami kenang. Karena Juwita bukan hanya sekedar seorang teman, tapi juga sosok yang menginspirasi kami untuk selalu berbuat lebih, untuk terus melangkah tanpa ragu," tandas Rahel haru.
Tak sedikit ucapan belasungkawa juga mengalir dari rekan sejawat. Sejumlah rekan seprofesinya, mengenang Juwita sebagai sosok orang yang baik. Seperti yang diutarakan oleh Nisa, jurnalis detik.com Kalimantan.
“Orangnya santun, sopan. Bila memang ada yang salah mau saja dibilang. Selama berteman tidak pernah mendengar dia membicarakan orang lain,” katanya.
Jurnalis asal Banjarbaru lainnya, Suroto juga merasakan kehilangan yang mendalam atas wafatnya Juwita. Apalagi, Juwita dan Suroto sama-sama bernaung di satu media, Newsway.id.
“Tentunya kami sangat kehilangan dan turut berduka cita. Semoga, keluarga tetap tabah dan almarhumah ditempatkan di sisi Allah dengan bahagia,” ucapnya.
Hal yang sama disampaikan Andy, jurnalis pojokbanua.com. Ia pertama kali mengenal Juwita saat bekerja pada salah satu media online di Kalsel.
“(Saat itu) dia baru mulai menapaki dunia jurnalistik, penuh semangat, ceria, dan saya tahu, dia orang baik,” tuturnya.
Namun, kepergian Juwita menyisakan tanda tanya besar. Apakah benar ini hanya kecelakaan tunggal?
Mengapa ditemukan tanpa identitas dan barang-barangnya? Apakah ada kemungkinan lain yang belum terungkap?
Tuntutan Akan Transparansi
Sejumlah asosiasi media dan organisasi wartawan, PWI, AJI, FJPI dan sejumlah pimpinan media di Kalsel menyampaikan harapan besar agar kasus ini diusut dengan serius.
Saya pikir yang paling penting saat ini adalah transparansi dalam penyelidikan. Jika benar ini kecelakaan, harus ada bukti konkret yang mendukungnya. Jika ada unsur kriminal, maka pelakunya harus ditemukan dan keadilan ditegakkan.
Dunia jurnalistik tidak bisa menutup kemungkinan bahwa profesi Juwita sebagai wartawan bisa saja menjadi salah satu faktor dalam kematiannya.
Kita mafhum, bahwa jurnalis kadang menjadi target saat memberitakan hal yang sensitif. Apakah ada kemungkinan seperti itu dalam kasus Juwita? Itu yang harus diselidiki lebih lanjut," tambahnya.
Dari perspektif komunikasi intelejen, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan jika ingin mengungkap kasus ini secara terang benderang.
Jika ini kecelakaan, maka rekaman CCTV, saksi mata, dan hasil forensik harus bisa menguatkan peristiwa itu.
Pun, jika ada dugaan kriminal seperti pembegalan atau penganiayaan, maka aparat harus mencari tahu motif yang lebih besar.
Saya yakin, polisi sudah akan mampu mengurai tabir di balik kematian rekan jurnalis kami ini.
Keadilan untuk Juwita
Juwita mungkin sudah pergi, tetapi perjuangannya sebagai jurnalis muda harus tetap dikenang.
Kita tidak boleh membiarkan kasus ini berlalu begitu saja tanpa kejelasan.
Keadilan bukan hanya untuk keluarga dan sahabatnya, tetapi juga untuk semua jurnalis yang membutuhkan kepastian bahwa mereka bisa bekerja dengan aman.
Saya berharap kepolisian dan pihak berwenang bisa mengusut kasus ini secara profesional dan transparan.
Kita tidak hanya kehilangan seorang teman, mahasiswa, atau rekan kerja, tetapi juga kehilangan seorang jurnalis muda yang memiliki semangat besar untuk dunia pers.
Bagi saya, teman-temannya, kolega terlebih keluarga yang ditinggalkannya, JUWITA bukan hanya sekedar nama.
Ia adalah kombinasi dari sikap, akal budi, dan kisah seorang dengan pribadi yang luar biasa baik. Semoga Allah tempatkan ia di alam kubur yang paling indah, seindah nama dan kenangan yang ditinggalkannya. Amin.
Penulis, Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com, Dosen dan Peneliti Komunikasi.