Kontroversi Trans7 dan Luka di Wajah Pesantren

Redaksi - Jumat, 17 Oktober 2025 | 16:01 WIB

Post View : 41

ILUSTRASI: Ramai beredar di medsos hastag @BoikotTrans7 pasca tayangan yang dinilai melecehkan pesantren, santri dan kyai. (BANUATERKINI/Rei)

Kontroversi tayangan Expose Uncensored Trans7 yang menampilkan kehidupan santri dan pesantren Lirboyo memicu gelombang reaksi luas di ruang publik. Kritik datang dari berbagai kalangan, mulai dari PBNU hingga alumni pesantren, menyoroti batas etika dan tanggung jawab media dalam membingkai isu keagamaan. Artikel ini mengupas secara mendalam bagaimana kebebasan pers seharusnya dijalankan dengan tetap menghormati simbol keagamaan. Artikel ini menjadi refleksi penting tentang keseimbangan antara hak berekspresi media dan penghormatan terhadap nilai-nilai moral serta budaya pesantren.

Oleh: MS Shiddiq *)

Tayangan televisi bukan sekadar hiburan. Ia adalah cermin budaya dan ruang wacana publik. Saat suatu stasiun televisi melangkah terlalu jauh dalam membingkai narasi sensasional atas pesantren dan kiai, yang terjadi bukan sekadar kontroversi media, melainkan keguncangan moral dan institusional.

Kasus Expose Uncensored Trans7 yang menyinggung kehidupan santri dan wibawa pesantren Lirboyo adalah bahan refleksi penting: sejauh mana media boleh membongkar sisi kelam lembaga keagamaan, dan di mana batas penghormatan hak asasi simbolik?

Apa yang Terjadi di Balik Kamera?

Dalam episode yang ditayangkan 13 Oktober 2025, Expose Uncensored menyajikan narasi provokatif seperti “santrinya minum susu aja kudu jongkok” untuk menggambarkan kehidupan di pondok pesantren.

Tampak pula cuplikan santri merunduk atau “ngesot” demi bersalaman dan menyerahkan amplop kepada kiai. Narasi tersebut dikemas secara dramatis, dengan gaya editing yang menonjolkan gestur dilematis dan visual yang retoris. Sayangnya, Trans7 menyodorkan narasumber internal pesantren sangat terbatas, sedangkan suara penonton lebih banyak muncul sebagai komentar luar.

Dari perspektif komunikasi, pola itu masuk dalam bentuk framing dan agenda setting: media memilih sudut pandang tertentu, mengundang persepsi negatif, lalu menetapkan mana yang menjadi isu utama publik. Tanpa keseimbangan (counter-narrative), penonton dipandu untuk memandang bahwa “kehidupan pesantren = ketertinggalan, relasi kiai-santri = feodalisme.”

Apalagi di ruang digital, tayangan cepat viral,  sehingga memicu munculnya tagar #BoikotTrans7 di media sosial. Dalam hitungan jam, publik. khususnya santri dan alumni, bereaksi keras, melakukan republishing cuplikan, menggalang desakan permintaan maaf. Imbasnya, stasiun menghadapi tekanan moral dan institusional sekaligus.

Kritik Terhadap Kebijakan Trans7 dan Etika Redaksi

Halaman:
Baca Juga :  Skema Kenaikan BPIH Usulan Menteri Yaqut Tak Adil Bagi Calon Jamaah Haji 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev