Kontroversi Trans7 dan Luka di Wajah Pesantren

Redaksi - Jumat, 17 Oktober 2025 | 16:01 WIB

Post View : 41

ILUSTRASI: Ramai beredar di medsos hastag @BoikotTrans7 pasca tayangan yang dinilai melecehkan pesantren, santri dan kyai. (BANUATERKINI/Rei)

Alumni Lirboyo, melalui sejumlah pernyataan resmi, mengecam kuat narasi yang menggambarkan kiai sebagai sosok bergelimang amplop atau berjalan “ngesot.” Mereka menuntut stasiun menarik tayangan tersebut, menerbitkan klarifikasi publik, dan menyebar konten positif tentang pesantren.

Di sisi lain, ada tokoh muda NU yang menyampaikan kritik terhadap respons PBNU: menurut mereka, terlalu keras membela hanya “komunitas NU” bisa dipersepsikan eksklusif dan kontraproduktif dalam ruang publik yang lebih luas.

Implikasi Narasi dan Identitas

Dari kajian komunikasi, sikap Trans7 dan tanggapan publik memperlihatkan bahwa narasi media yang kuat bisa membentuk identitas kolektif, dalam hal ini, pesantren sebagai kelompok yang dieksotifikasi dan dicap “tradisional, kolot, didikte.”

Di sisi lain, komunitas pesantren merespons melalui counter-narrative: merangkul santri, alumni, NU, agar identitas mereka direbut kembali lewat suara bersama.

Di ranah komunikasi organisasi, Trans7 punya peluang memperkuat legitimacy melalui langkah korektif terbuka: dialog publik, pengakuan kesalahan, dan kolaborasi dengan pihak santri atau pesantren untuk menghasilkan konten yang menghormati simbol keagamaan.

Ruang publik Indonesia butuh media yang mampu menjaga proporsi antara kebebasan pers dan penghormatan simbol agama. Bila media mengabaikan sensitivitas simbolik tanpa mekanisme kontrol yang matang, ia bisa memicu konflik sosial yang tak perlu.

Ujian Media dalam Menegakkan Etika

Kasus Trans7 dan Lirboyo bukan sekadar polemik TV, ia adalah ujian moral bagi media dan masyarakat. Apakah media cukup peka untuk menghormati institusi keagamaan meski ingin “membongkar fakta”? Apakah pesantren cukup agresif untuk mempertahankan wibawa simbolik mereka dalam ruang publik massal?

Trans7 mesti membuktikan bahwa permintaan maaf bukan sekadar basa-basi redaksional. Ia harus membuka diri terhadap audit independen, menerima keterlibatan pesantren, dan menunjukkan komitmen nyata. Publik dan lembaga agama punya hak menuntut transparansi serta tanggung jawab simbolik.

Halaman:
Baca Juga :  Gaji DPR Turun Jadi Rp 65 Juta Setelah Tunjangan Rumah Dihapus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev