Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kalimantan Selatan baru-baru ini, yang menjerat Gubernur Sahbirin Noor—atau yang akrab disapa Paman Birin—seolah menjadi drama yang kembali mengingatkan kita tentang betapa licinnya praktik korupsi di tanah air.
Oleh: M. S Shiddiq
Pemandangan yang menghiasi OTT kali ini cukup menggelitik: kotak kardus berisi uang tunai yang diduga sebagai "fee" dari proyek-proyek yang telah dikondisikan, seolah-olah menjadi simbol betapa praktek korupsi sudah tertanam dalam sistem birokrasi kita.
OTT KPK di Kalimantan Selatan yang menjerat Gubernur Sahbirin Noor, atau akrab disapa Paman Birin, tidak hanya menyeret nama-nama besar tetapi juga memperlihatkan satu simbol kuat: kotak kardus yang penuh dengan uang tunai.
Simbol ini menjadi representasi paling nyata dari korupsi yang terus membudaya di dalam birokrasi, meski berbagai aturan telah diberlakukan untuk memberantasnya.
Kardus, Ikon Baru Korupsi
Kardus-kardus berisi uang yang disita KPK dari berbagai pihak yang "berafiliasi" dengan Paman Birin menggambarkan bagaimana skema korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa (PBJ) masih terjadi, meski proses tender telah beralih menjadi elektronik melalui e-catalog.
Sistem e-catalog dirancang untuk mengedepankan transparansi, efisiensi, dan keadilan dalam pengadaan barang. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, “e-catalog yang kita harapkan lebih transparan justru berubah menjadi penunjukan langsung secara elektronik.”
Dalam teori Korupsi Sistemik (systemic corruption), dijelaskan bahwa korupsi tidak lagi menjadi tindakan individual, melainkan menjadi bagian dari sistem di mana berbagai aktor terlibat dalam skema yang diatur rapi.
Pengkondisian tender seperti yang terjadi dalam kasus OTT KPK yang menyeret Paman Birin contoh dari korupsi sistemik, di mana pejabat publik, pengusaha, hingga pihak ketiga terlibat dalam manipulasi demi keuntungan pribadi.
Teori Korupsi Struktural dan Sosial
Sosiolog dan ekonom sering kali menghubungkan korupsi dengan teori Korupsi Struktural (Heidenheimer dan Johnston, 2001), yang menjelaskan bahwa perilaku korup terjadi ketika ada ketidakseimbangan kekuasaan dalam sistem, di mana pejabat yang memiliki otoritas lebih tinggi cenderung menggunakan kekuasaan tersebut untuk memperkaya diri atau kelompoknya.
Dalam hal ini, posisi gubernur dan pejabat tinggi lainnya menjadi aktor kunci yang menciptakan lingkungan korup dengan memanfaatkan kekuasaan dan kendali mereka terhadap proyek-proyek pengadaan di bawah naungan pemerintah daerah.
Selain itu, Teori Rasa Keadilan (justice theory) dari John Rawls (1991) relevan untuk menggambarkan bagaimana korupsi merusak kepercayaan publik.
Menurut teori ini, prinsip keadilan menuntut adanya pemerataan kesempatan dan transparansi dalam distribusi sumber daya.
Jadi, korupsi seperti yang terjadi dalam proyek pengadaan Kalimantan Selatan jelas mengabaikan prinsip ini, di mana hanya aktor-aktor tertentu yang mendapatkan akses untuk memenangkan tender melalui pengkondisian yang sudah diatur sejak awal.
Praktik Malu-Malu Korupsi
Dalam kasus ini, e-catalog yang dirancang untuk menciptakan efisiensi dan integritas justru menjadi alat bagi pejabat korup untuk mengatur jalannya proyek.
Mereka dengan sengaja menyusun persyaratan tender yang hanya bisa dipenuhi oleh pihak yang telah ditentukan sebelumnya, memastikan bahwa skema mereka tetap berjalan meski aturan telah berubah.
Praktik ini mirip dengan konsep Teori Peluang Struktural dari Edwin Sutherland (1949), yang menyatakan bahwa kejahatan korupsi terjadi ketika ada peluang dalam struktur birokrasi yang memungkinkan individu atau kelompok menyalahgunakan kekuasaan untuk tujuan pribadi.
Simbol "kotak kardus" ini adalah cermin dari betapa rusaknya mentalitas birokrat yang seharusnya melayani kepentingan publik.
Teori Agensi (Jensen dan Meckling, 1976), yang menjelaskan hubungan antara agen (pejabat publik) dan principal (masyarakat), menunjukkan kegagalan besar. Agen yang seharusnya bertindak untuk kepentingan principal, dalam kasus ini justru bertindak demi keuntungan pribadi dengan cara melanggar aturan yang mereka awasi sendiri.
Saatnya Berbenah
Dengan melihat dari perspektif Teori Kontrol Sosial (social control theory) oleh Travis Hirschi (1969), yang menyatakan bahwa perilaku menyimpang seperti korupsi dapat terjadi karena lemahnya kontrol sosial dalam masyarakat, dapat disimpulkan bahwa sistem pencegahan internal di lingkungan birokrasi perlu diperketat.
Pengawasan dari dalam dan luar, serta budaya organisasi yang lebih berintegritas, harus ditekankan untuk mencegah "kardus-kardus" serupa bermunculan di masa depan.
Kasus OTT Kalsel ini adalah bukti nyata bahwa reformasi birokrasi masih membutuhkan upaya besar untuk menumbuhkan integritas, bukan hanya melalui perubahan aturan tetapi juga perubahan mentalitas.
Sebab, jika kita tidak segera bertindak, kotak kardus ini akan terus menjadi ikon dari rusaknya birokrasi kita, sementara rakyat tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.