Sebuah tas misterius yang tertinggal di gerbong KRL jurusan Rangkasbitung–Tanah Abang awal April 2025 membawa polisi menuju pengungkapan sindikat uang palsu berskala nasional.
Oleh: MS Shiddiq Elbanjary*
Dari tas itu, yang berisi Rp316 juta uang palsu, penyidik menelusuri jejak yang mengarah ke rumah elite di Bogor, hingga ke kamar hotel di Jakarta Barat.
Namun pertanyaan besar belum terjawab: Apakah sindikat pemalsu uang ini saling terkait satu dengan yang lain? Lalu, jika memang benar ada, siapa sebenarnya dalang besar di balik sindikat uang palsu yang mampu mencetak dan mengedarkan uang dalam jumlah triliunan rupiah ini?
Kasus bermula pada 7 April 2025 ketika petugas keamanan Stasiun Tanah Abang menemukan sebuah tas berisi tumpukan uang pecahan Rp100.000. Setelah dilakukan pengintaian, polisi menangkap M. Sujari, pria 45 tahun, yang mengaku sebagai pemilik tas.
Dari interogasi terhadap Sujari, penyidik membongkar keberadaan jaringan distribusi uang palsu yang dikendalikan oleh dua sosok mengejutkan: pegawai aktif BUMN Garuda Indonesia dan rekannya.
Penelusuran mengarah ke dua lokasi elite di Bogor: Griya Melati dan Sinbad Green Residence, yang menjadi markas pencetakan uang palsu dengan teknologi profesional, printer offset, tinta khusus, hingga mesin penghitung uang. Total lebih dari 23.000 lembar uang palsu siap edar ditemukan di lokasi.
Yang lebih mengejutkan, hanya beberapa bulan sebelumnya, pada Desember 2024, aparat kepolisian Sulawesi Selatan mengungkap pabrik uang palsu yang beroperasi di perpustakaan kampus UIN Alauddin Makassar.
Tidak main-main, sindikat ini melibatkan 18 tersangka, termasuk kepala perpustakaan kampus dan seorang pengusaha lokal.
Modusnya hampir identik: lokasi tertutup, mesin cetak canggih, dan ribuan lembar uang palsu siap edar.
Jika melihat pola, peralatan, serta model distribusi, para ahli menduga kemungkinan besar kedua kasus ini saling terhubung dalam jaringan yang lebih besar dan terorganisir.
Pengungkapan dua kasus besar peredaran uang palsu, di Jakarta dan Makassar, seharusnya tidak dilihat sebagai insiden kriminal biasa.
Ini bukan sekadar penangkapan pengedar atau pencetak uang di balik layar. Yang terbuka di hadapan kita adalah gejala dari sebuah struktur kejahatan ekonomi yang tertata rapi, terencana, dan mungkin beroperasi secara nasional.
Dua hal menonjol dari kasus ini: pertama, kejahatan ini bersarang di institusi yang seharusnya menjadi simbol kepercayaan publik, kampus dan BUMN.
Fakta bahwa perpustakaan sebuah universitas negeri dijadikan pabrik uang palsu, dan bahwa seorang pegawai aktif Garuda Indonesia berperan sebagai pengendali distribusi, mencerminkan bagaimana sindikat ini secara strategis memilih tempat dan sosok yang dianggap tak akan dicurigai.
Mereka menjadikan institusi resmi sebagai tameng yang efektif untuk menyamarkan kejahatan mereka.
Kedua, sindikat ini menyusun sistem kerja yang profesional. Rantai operasinya jelas: dari pihak pencetak di lokasi tertutup, pengemas dan penyimpan uang, hingga pendistribusi dan pengedar yang menyebarkannya ke masyarakat.
Ini menunjukkan tingkat koordinasi tinggi dan sumber daya logistik yang tidak kecil. Artinya, ada struktur organisasi di baliknya, bukan hanya individu pencari untung.
Lebih mengkhawatirkan, celah pengawasan dalam sistem keuangan nasional tampak begitu mudah ditembus.
Lemahnya deteksi terhadap peredaran uang tunai palsu, minimnya kontrol terhadap peredaran uang dalam jumlah besar di lapangan, dan lambannya identifikasi oleh lembaga keuangan, semuanya menjadi titik rawan yang dimanfaatkan sindikat.
Melihat skala produksi, nilai yang dicetak, serta keberanian mengoperasikan pabrik di tengah pemukiman dan lembaga resmi, muncul dugaan kuat bahwa sindikat ini tidak berdiri sendiri.
Kemungkinan besar ada aktor-aktor besar, baik pelaku ekonomi kelas atas maupun jaringan kriminal terorganisir, yang berada di balik operasi ini.
Sosok-sosok yang memiliki kekuasaan, akses, dan jejaring untuk melindungi atau bahkan mengendalikan jalannya produksi dan distribusi uang palsu secara masif.
Jika negara tidak segera mengambil langkah tegas, maka kejahatan semacam ini akan terus berkembang, menyusup lebih dalam ke dalam sistem sosial dan ekonomi, dan pada akhirnya, merusak fondasi kepercayaan publik terhadap negara itu sendiri.
Uang palsu bukan hanya masalah sepele yang berdampak pada konsumen kecil atau pedagang yang tertipu. Ketika kasus peredaran uang palsu ini melibatkan jaringan terorganisir dengan skala besar, dampaknya jauh lebih luas.
Uang palsu, dalam jumlah besar, bisa merusak integritas ekonomi nasional. Proses produksi dan distribusinya mengganggu sistem ekonomi yang sehat, menciptakan ketidakpastian yang bisa merusak kepercayaan pasar.
Lebih jauh lagi, kehadiran uang palsu di pasar bisa sangat merugikan sektor-sektor yang bergantung pada transaksi tunai, terutama di kalangan UMKM dan sektor informal.
Mereka adalah pelaku ekonomi yang paling rentan terhadap dampak langsung dari peredaran uang palsu, karena sistem pengawasan yang tidak memadai dan keterbatasan teknologi untuk mendeteksi uang palsu.
Ini bukan hanya soal kerugian finansial yang harus ditanggung oleh pelaku usaha kecil, tetapi juga tentang dampak psikologis terhadap kepercayaan mereka terhadap sistem ekonomi dan keuangan.
Uang palsu juga berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap uang tunai dan sistem keuangan secara keseluruhan.
Masyarakat yang merasa terancam oleh peredaran uang palsu mungkin akan lebih cenderung beralih menggunakan metode pembayaran lain yang dianggap lebih aman, seperti pembayaran digital.
Hal ini berpotensi mempengaruhi sistem keuangan negara yang bergantung pada stabilitas uang tunai.
Namun, yang lebih memprihatinkan lagi adalah kenyataan bahwa kejahatan terorganisir ini dapat bersarang di ruang-ruang yang seharusnya menjadi yang paling aman dan terpercaya: institusi BUMN dan kampus.
Fakta bahwa sindikat ini mampu memanfaatkan institusi besar seperti itu untuk menyembunyikan aktivitas ilegal mereka adalah sebuah sinyal bahaya yang harus segera diwaspadai. Ini menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pengawasan yang ada, yang membiarkan jaringan kriminal beroperasi tanpa terdeteksi.
Negara tidak boleh puas hanya dengan menangkap pelaku lapangan yang terlibat langsung dalam peredaran uang palsu. Langkah yang lebih besar dan lebih mendalam harus diambil.
Audit internal pada institusi-institusi yang terlibat, penguatan sistem intelijen keuangan, serta kolaborasi antara aparat hukum, lembaga keuangan, dan masyarakat adalah kunci untuk mencegah agar kejahatan serupa tidak terulang.
Peran publik juga sangat penting dalam mengawasi dan melaporkan temuan peredaran uang palsu di masyarakat, untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan aman.
Jika langkah-langkah preventif ini tidak segera diambil, maka peredaran uang palsu yang semakin meluas bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi negara, merusak rasa aman masyarakat, dan menciptakan ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya melindungi kepentingan publik.
Bagi negara, langkah pertama yang harus segera diambil adalah membentuk Satuan Tugas Nasional Anti-Uang Palsu yang melibatkan berbagai lembaga penting, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Bank Indonesia.
Kerjasama antara lembaga-lembaga ini sangat krusial untuk mengawasi dan menindak tegas peredaran uang palsu yang telah mengancam stabilitas ekonomi.
Negara tidak boleh membiarkan celah dalam sistem pengawasan dimanfaatkan oleh para pelaku kriminal, yang bahkan dapat menyusup ke dalam jabatan-jabatan strategis dan institusi negara yang seharusnya menjadi benteng pertahanan.
Sementara itu, bagi masyarakat, kesadaran dan kewaspadaan terhadap peredaran uang palsu harus ditingkatkan. Masyarakat perlu lebih teliti dalam memeriksa uang tunai yang diterima, terutama dalam transaksi-transaksi besar yang melibatkan uang tunai.
Memahami ciri-ciri uang palsu sangat penting agar tidak ikut menjadi korban dari peredaran ilegal ini.
Jika menemukan uang yang mencurigakan, atau bahkan hal-hal kecil seperti tas yang berisi uang palsu yang tertinggal di tempat umum, masyarakat tidak boleh ragu untuk melaporkan kepada pihak berwajib. Karena seringkali, kejahatan besar berawal dari kelalaian kecil yang terabaikan.
Dengan langkah-langkah yang lebih hati-hati dan kolaborasi yang kuat antara negara dan masyarakat, kita dapat mencegah semakin meluasnya kejahatan ini dan menjaga stabilitas ekonomi serta kepercayaan publik terhadap sistem keuangan negara.
*Pemimpin Redaksi