Pers Merdeka, Janji Tanpa Bukti

Redaksi - Minggu, 4 Mei 2025 | 21:51 WIB

Post View : 41

ILUSTRASI: Apakah kebebasan pers di Indonesia masih merupkan mimpi, yang hanya janji tanpa bukti? (BANUATERKINI @2025)

Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day), momen tahunan untuk meneguhkan kembali pentingnya jurnalisme bebas dan independen dalam menopang demokrasi. Namun, di Indonesia, peringatan ini terasa kian simbolik. Janji kebebasan pers seperti gema yang kehilangan gaungnya di tengah kekerasan, tekanan, dan pembiaran oleh negara.

Oleh: MS Shiddiq *)

Realitas yang Membungkam

Sepanjang 2024, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Mayoritas pelaku adalah aparat negara, termasuk kepolisian dan TNI. Kasus terjadi dari Sumatra Utara hingga Papua.

Dalam sebuah demonstrasi menolak Revisi UU Pilkada pada Agustus 2024, sedikitnya 11 jurnalis mengalami kekerasan fisik dan intimidasi.

“Mereka mengancam akan merampas kamera saya dan memukul jika tidak segera pergi. Padahal saya sudah menunjukkan kartu pers,” ujar seorang jurnalis foto yang meliput di Jakarta (sumber: Komite Keselamatan Jurnalis, 2024).

Tak hanya fisik, tekanan juga berbentuk teror simbolik. Pada Maret 2025, redaksi Tempo dikejutkan dengan kiriman kepala babi dan bangkai tikus.

Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menilai tindakan ini sebagai "pesan intimidatif yang jelas" terhadap sikap editorial media tersebut.

"Kami tidak gentar, tapi negara seharusnya hadir dalam melindungi kemerdekaan pers," tegasnya.

Sayangnya, Negara yang direpresentasikan melalui pernyataan Kepala Kantor Kepresidenan, Hasan Hasbi, menambah "horor" situasi ini. Meskipun akhirnya Hasan Hasbi, "terpaksa" mundur dari posisi yang dijabatnya sejak era Presiden Joko Widodo itu. 

Kematian yang Dihilangkan

Kasus paling menyayat terjadi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dengan kematian tragis jurnalis muda Juwita (23).

Awalnya disebut sebagai kecelakaan tunggal, namun hasil autopsi mengungkap bahwa Juwita dibunuh oleh kekasihnya, seorang anggota aktif TNI AL.

Meski pelaku ditangkap, tak ada kejelasan apakah motif pembunuhan terkait pekerjaan jurnalistik korban. Kasus ini mencerminkan minimnya perlindungan negara terhadap jurnalis, khususnya perempuan.

Janji Regulasi, Nihil Perlindungan

Pemerintah memang telah menerbitkan Perpres No. 32 Tahun 2024 tentang tanggung jawab platform digital dalam mendukung jurnalisme berkualitas.

Namun, regulasi ini lebih menyoal relasi bisnis media-platform, bukan perlindungan kerja jurnalistik di lapangan. Dalam praktiknya, kebijakan tersebut belum menyentuh akar persoalan kekerasan dan impunitas.

Sementara itu, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2024 versi Dewan Pers justru menurun menjadi 69,36, dari 71,57 pada tahun sebelumnya.

Meski masih dalam kategori "cukup bebas", penurunan ini menunjukkan kemunduran serius.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyebutkan, “Ketergantungan media pada anggaran pemerintah daerah dan rendahnya kesadaran aparat terhadap fungsi pers menjadi dua faktor utama penurunan IKP.”

Perspektif Teori dan Praktik Global

Dalam teori komunikasi klasik, Model Empat Teori Pers (Siebert, Peterson & Schramm, 1956) menjelaskan bahwa pers dalam negara demokratis semestinya mengikuti model libertarian, yaitu bebas dari tekanan negara dan memiliki kontrol mandiri melalui mekanisme publik.

Namun, Indonesia tampaknya bergerak ke arah pers autoritarian yang terselubung, di mana media diizinkan beroperasi, tetapi dalam kendali kekuasaan dan represi terselubung.

Perbandingan bisa ditarik ke India, di mana kekuasaan politik menguatkan kontrol atas media.

The Guardian (3 Mei 2025) melaporkan bahwa sejak pemerintahan Narendra Modi, jurnalis mengalami ancaman hingga pembongkaran rumah sebagai bentuk intimidasi negara.

Mereka yang mengangkat isu Muslim, kasta, atau kritik terhadap pemerintah menjadi target.

Sebaliknya, Uni Eropa tengah mengimplementasikan European Media Freedom Act (EMFA) yang mengatur transparansi kepemilikan media dan perlindungan terhadap independensi redaksi.

Meski belum sempurna, kebijakan ini menunjukkan komitmen negara-negara Eropa dalam menjaga pluralisme informasi.

Demokrasi Tanpa Pers Bebas Adalah Kosong

Kebebasan pers adalah pilar demokrasi, bukan pelengkap. Ketika jurnalis dibungkam, kebenaran terancam lenyap.

Pemerintah atau asosiasi pers Indonesia tidak cukup hanya merayakan World Press Freedom Day dalam forum-forum internasional.

Perlu tindakan nyata, yaitu menindak tegas pelaku kekerasan, menjamin perlindungan hukum bagi jurnalis, dan menciptakan ekosistem media yang bebas dari tekanan.

Jika negara terus gagal melindungi kerja jurnalistik, maka jargon “pers merdeka” tak lebih dari janji tanpa bukti. 

*) MS Shiddiq, S.Ag, M.Si, Ph.D, Dosen, Peneliti dan Penggiat Literasi Media, Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com

Halaman:
Baca Juga :  Hari ini BMKG Perkirakan Cuaca di Indonesia Berawan, Banjarmasin Diliputi Asap

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev