Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus aturan presidential threshold sebesar 20 persen. Keputusan ini membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia, membuka peluang lebih besar bagi partai-partai politik dan rakyat untuk berpartisipasi dalam Pemilu Presiden mendatang. Namun, apa dampaknya bagi dinamika politik dan pelaksanaan Pemilu?
Banuaterkini.com, JAKARTA - Aturan presidential threshold yang mengharuskan partai atau gabungan partai memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau suara nasional untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden kini resmi dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.
Keputusan ini dibuat dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Kamis (2/1/2025), setelah menerima gugatan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
MK menyatakan bahwa aturan ini bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Ketua MK, Suhartoyo, menegaskan bahwa presidential threshold melanggar hak politik rakyat, membatasi kedaulatan demokrasi, dan menimbulkan ketidakadilan dalam sistem pemilu.
“Aturan ini tidak hanya soal angka persentase, tetapi bertentangan secara mendasar dengan prinsip demokrasi,” ujar Suhartoyo, seperti dikutip dari Kompas.com.
Selama ini, aturan presidential threshold dianggap membatasi partisipasi partai-partai kecil dan independen dalam pencalonan presiden.
MK juga menyoroti bahwa penerapan aturan ini cenderung menyebabkan Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon, atau bahkan calon tunggal, yang berisiko memperparah polarisasi politik di masyarakat.
Dengan dihapusnya presidential threshold, lebih banyak partai politik kini memiliki peluang untuk mencalonkan kandidat presiden dan wakil presiden.